Friday, July 29, 2016
Wednesday, July 27, 2016
Sebelum Pergi ke Tempat Paling Liar di Muka Bumi
Hai!
Sepanjang bulan Agustus, kami
mau mengajak kamu untuk pergi ke Tempat Paling Liar Di Muka Bumi. Caranya:
1. Bikin satu foto dan satu
caption tentang apa atau siapa "Tempat Paling Liar Di Muka Bumi"
menurut kamu!
2. Caption tidak perlu ditulis
di atas foto. Menulis caption misalnya:
.... adalah tempat paling liar
di muka bumi.
Atau Tempat paling liar di muka
bumi adalah ...
3. Karya terbaik kamu silakan
di tag/mention ke
TWITTER: @perempuansore + @wesllyjohannes
INSTAGRAM: @tempatpalingliardimukabumi / theoresia rumthe / weslly johannes
FACEBOOK: theoresia rumthe + weslly johannes
Karya terbaik, pilihan kami akan di-posting di instagram @tempatpalingliardimukabumi sepanjang Bulan Agustus. Dan di akhir Bulan Agustus kami punya merchandise menarik untuk kamu yang karyanya paling banyak disuka.
TWITTER: @perempuansore + @wesllyjohannes
INSTAGRAM: @tempatpalingliardimukabumi / theoresia rumthe / weslly johannes
FACEBOOK: theoresia rumthe + weslly johannes
Karya terbaik, pilihan kami akan di-posting di instagram @tempatpalingliardimukabumi sepanjang Bulan Agustus. Dan di akhir Bulan Agustus kami punya merchandise menarik untuk kamu yang karyanya paling banyak disuka.
4. Jangan lupa follow @tempatpalingliardimukabumi dan pakai hashtag
#TempatPalingLiarDiMukaBumi
Jadi, apa dan siapakah Tempat
Paling Liar Di Muka Bumi menurut kamu?
salam sayang,
Monday, July 25, 2016
Lagu-Lagu Yang Ditulis Di Bulan Juli
Lagu-Lagu Yang Ditulis Di Bulan
Juli mengingatkan saya kepada langit: begitu tenang sehingga dapat melihat
jelas wajah seseorang pada birunya.
Lagu-lagu yang ditulis di bulan Juli adalah lagu-lagu yang dialamatkan kepada
seseorang. Bisa jadi itu saya atau kamu yang sedang jatuh cinta. Cinta yang
buru-buru atau cinta yang lambat-lambat. Pilih saja mana yang paling disuka.
Adalah sebuah kesenangan untuk
melahirkan sebuah kegairahan baru di dalam bermusik. Jejak ini kemudian
ditemukan pada setiap alunan gitar yang ada di dalam albumnya. Mini album
Lagu-Lagu Yang Ditulis Di Bulan Juli tidak hanya membawamu untuk mengingat
bulan Juli: tahun ini atau tahun yang akan datang untuk merayakan sesuatu yang
manis.
Lagu-Lagu Yang Ditulis Di Bulan
Juli, mini album ini berisi 5 lagu berformat akustik. AKAN RILIS BESOK: Selasa,
26 Juli 2016 jam 8 malam di Workshop Coffee, Ambon. Nantinya David Rampisela
akan memainkan semua lagu di mini album ini dan beberapa cover version lagu
dari artis-artis yang menjadi inspirasi dalam berkarya.
Thursday, July 14, 2016
Bagaimana Saya Menemukan Album Tiga Pagi: Roekmana’s Repertoire, Roekmana Si Batu Tua
Saya cukup senang. Karena hari ini saya mengetahui bahwa
alat pemutar CD saya masih berfungsi dengan baik. Selama ini alat pemutar CD
saya yang sederhana itu, hanya cukup saya pakai untuk mendengarkan radio saja.
Itupun sudah cukup lama saya tinggalkan, karena bahkan radio yang saya
dengarkan darinya pun biasanya mengeluarkan bunyi kresek-kresek yang cukup
mengganggu.
Tetapi
ketika iseng memencet tombol play,
ternyata ia berbunyi dengan baik. Dari baliknya saya mendengarkan suara vokal
laki-laki dengan alunan gitar yang cukup dominan. Saya perhatikan liriknya.
Tidak lama kemudian saya seperti dibawa mengunjungi sesuatu seperti cerita-cerita
yang muncul di kepala. Mereka datang kepadamu dalam warna sephia. Tidak hitam
dan tidak putih. Seperti kunang-kunang ketika malam. Ada diantara cerita-cerita
tesebut yang menggelisahkan, membuatmu berpikir, sedih, lalu menangis. Tetapi
kadang juga ingin membuatmu ingin segera melompat ke bagian cerita yang lain
yang lebih bahagia namun tidak bisa. Seperti ada yang menahanmu untuk
menyaksikan satu bagian cerita satu per satu hingga ia selesai.
Mengalir. Rasanya bagaimana cerita-cerita itu
terus mengajakmu pergi ke dalam relung-relung diri. Dan di sana kamu akan menyaksikannya. Seperti menyaksikan hatimu
sendiri, warnanya hitam pekat. Melihat bagaimana darah segarmu yang terpompa
dari jantung menuju ke semua bagian-bagian tubuh yang lain. Kamu akan dapat
melihat bagian perut. Bahkan rahimmu sendiri. Masuk terlalu dalam, hingga
dalam. Lalu kamu akan mengenalinya. Mengenali apa? Entahlah. Tetapi hanya
menemukan. Menemukan apa? Entahlah. Menemukan
sesuatu yang hilang.
Saya berhenti sebentar untuk
menyesap kopi hitam saya. Baru kemudian melanjutkan perjalanan ini dan
memperhatikan lekat-lekat.
Tetapi
sayangnya cerita-cerita itu tidak memberikan kesempatan kepadamu untuk
berhenti. Mereka terus melaju. Setelah membawamu untuk menemukan sesuatu yang
hilang tadi. Lantas sekarang mereka seperti membawamu menyusun kembali
potongan-potongan gambar. Tidak boleh lepas. Seperti puzzle. Kali ini butuh ketepatan. Ketepatan untuk menyusun
potongan-potongan tadi satu-persatu hingga menjadi gambar yang utuh kembali.
Pengalaman menemukan dan mendengarkan Roekmana’s Repertoire ini adalah pengalaman perjalanan ke dalam
diri. Menemukan sesuatu yang pernah ada, namun hilang. Tidak apa jika ternyata
diri yang kamu temukan sedang hancur.
Dan yang kamu temukan hanya berupa kepingan-kepingan.
Friday, July 8, 2016
Kita Pernah Semalam Bersama-Sama Jauh Sebelum Akhirnya Kita Bersama
Adalah sebuah seingatan. Karena saya tidak mampu mengingat terlalu
banyak apa yang telah terjadi di dalam hidup saya. Sejauh yang saya ingat,
ketika masih sangat muda dulu, saya memang pernah bercita-cita kepengin punya
kekasih yang bisa menulis.
Saya
percaya bahwa laki-laki yang bisa menulis itu seksi. Baik menulis buku harian.
Menulis cerita pendek. Menulis puisi. Menulis lagu. Atau menulis apapun. Saya
memang bertemu dengan beberapa di antara mereka.
Kemudian
kriteria hanyalah kriteria. Saya bertumbuh dan saya lupa. Seiiring dengan
perjalanan, cinta adalah bagaimana ia menemukan kita, tidak peduli kepada siapa
kita jatuh.
Saat
ini saya sudah bertemu dengannya. Semalam di telepon di antara
percakapan-percakapan saya dengannya, kita
berbincang bahwa kita pernah bertemu sebelumnya. Kekasih saya mengirimkan
beberapa foto yang ia temukan di dalam akun facebook seorang teman. Di
foto-foto tahun 2012 itu saya melihat kita pernah ada di sebuah kesempatan
bersama. Kita pernah menikmati satu malam di kota Ambon bersama. Ternyata kita sudah bertemu jauh-jauh
hari sebelumnya.
Kekasih
saya masih gondrong, ia memakai topi dan ia memakai kaos berwarna putih dengan aksen hitam pada bagian lengan. Beberapa hal yang saya tulis adalah detail kesukaan saya. Waktu itu saya memang
belum tahu bahwa ia pun senang menulis. Saya melihat kembali foto-foto itu dan
ada waktu jeda sebentar di antara percakapan-percakapan di telepon tadi malam.
Saya seperti kembali ke malam di tahun 2012 itu, tetapi saya tidak mampu mengingat
apa-apa.
“Memangnya
kita nggak ngobrol sama sekali ya di malam itu?”
“Nggak.
Kan waktu itu kamu sibuk ngobrol sama teman-teman lain yang juga kepengin
ngobrol dengan kamu.”
“Ah, masa sih?!”
“Iya.”
“Tapi masa sih sama sekali kita nggak ngobrol? Kamu itu tipe aku banget. Dan rasanya kalau ada yang kayak kamu, biasanya aku ajak ngobrol.”
Tidak.
Kita memang tidak bicara satu dengan yang lain. Padahal jarak kita begitu
dekat. Tetapi saya pun tidak mampu mengingat. Apa yang membuat saya tidak
mengajaknya berbicara duluan. Atau setidaknya ada percakapan sedikit. Tetapi jangankan
dengannya, saya bahkan tidak mengingat apa yang saya bicarakan dengan
teman-teman yang lain. Lagi-lagi foto-foto itu hanya menunjukkan bahwa kita
berdua pernah menikmati satu malam bersama dengan senang.
Saya
percaya bahwa jauh-jauh hari sebelumnya, kita sudah pernah bertemu dengan
cinta. Bahkan di dalam pengalaman saya, saya sudah melihatnya tetapi seperti
belum dipertemukan. Saya melihat
cinta, tetapi di malam itu saya hanya diberikan kesempatan untuk melihat.
Bertahun-tahun setelahnya adalah persiapan. Proses persiapan ini yang kemudian
membuat saya semakin percaya bahwa alam semesta memang tidak pernah salah soal
cinta. Mereka mempertemukan, memberikan ruang untuk dipersiapkan, mempertemukan
kembali ketika memang sudah benar-benar siap.
Kamu tidak pernah jatuh
cinta dengan orang yang salah.
Dan jangan pernah menganggap remeh perjumpaan-perjumpaan. Juga masa persiapan,
ketika kemudian dipertemukan kembali kepada satu masa untuk bersama.
Cinta tidak dapat
dipaksakan sebelum waktunya.
Tetapi jadilah tenang dan tetap percaya kepada cinta dan bagaimana ia
bekerja. Ia keajaiban yang paling ajaib.
kekasih paling depan, berry, saya dengan topi merah di belakang, tahun 2012.
Saya
dan kekasih ternyata sudah dipertemukan jauh-jauh hari sebelumnya. Kita pernah menikmati satu malam bersama-sama jauh sebelum akhirnya
kita bersama. Saya tidak mampu mengingat perasaan-perasaan ketika malam itu.
Tetapi saya mau mencatat beberapa hal hari ini: hidup adalah
keajaiban-keajaiban kecil setiap detiknya. Jangan sampai lewat.
Tuesday, July 5, 2016
Malam Jelang Lebaran di Kota Kesepian
Saya
mencari Hujan. Saya melihat iklannya di tv hampir sebulan yang lalu:
HUJAN HILANG. Begitu bunyi headline
dari berita-berita yang disiarkan. Dilanjutkan dengan banyak sekali sayembara
yang diumumkan untuk mencari Hujan. Karena Hujan sudah lama hilang. Barang
siapa yang menemukan Hujan, ia dapat membungkusnya dengan rapi dan dikirim ke
si pembuat sayembara dengan jumlah imbalan yang tidak sedikit.
Saya sebagai penikmat Hujan merasa ini adalah
sebuah tantangan. Saya harus dapat
menemukan Hujan. Itu sudah menjadi tekad saya. Tapi sayang sekali Hujan belum
saya temukan.
Saya lalu melakukan perjalanan dari
satu kota ke kota yang lain untuk mencari Hujan. Namun usaha saya masih
sia-sia. Hujan masih misterius. Belum juga saya temukan. Sejak sebulan itu setiap
hari saya berjalan ke lorong-lorong kecil, gang-gang-gang sempit, pasar,
perumahan penduduk, jalan-jalan besar, sekolah-sekolah, halaman kosong. Namun Hujan belum juga saya temukan.
Saya lalu sampai di kota Kesepian, ini
adalah kota pencarian saya yang terakhir. Barangkali saya menemukan Hujan di
sini. Atau barangkali saja ada orang yang dapat memberitahukan kepada saya
rahasia besar ini: dimanakah Hujan tinggal?
Malam ini kota Kesepian sepi. Tidak ada
lagi orang-orang. Hanya saya dan lampu-lampu malam. Saya termenung-menung
memandang lampu-lampu malam di kejauhan. Ajaib, lampu-lampu yang begitu meriah,
warna-warni itu tampak kesepian. Mereka seperti sedang mencari sesuatu. Mereka
seperti sedang menantikan sesuatu. Mereka seperti sedang ingin menceritakan
sesuatu.
Saya mendekat kepada salah satu lampu
malam berwarna kuning buram dan sedih.
“Hai, apakah kamu sedang sedih?”
“Iya, kok kamu tahu?”
“Hm, hanya bertanya. Barangkali kamu
mau cerita?”
Ia lalu menggeleng perlahan. Menunduk.
Dan tidak lagi menatap mata saya.
“Mereka semua pergi meninggalkan saya.”
“Ehm, apa, siapa, maksud saya, adakah
yang pergi meninggalkanmu?”
“Iya, mereka semua pergi meninggalkan
saya. Termasuk Hujan.”
Saya terlonjak kaget. Spontan saya
bertanya.
“Eh, sebentar, kamu melihat Hujan? Kamu
bertemu dengannya? Eh-eh dimanakah ia tinggal? Kamu tahu? Kamu bisa kasih
alamatnya kepada saya? Saya pun sedang mencari Hujan?”
Saya memberondonginya dengan
pertanyaan-pertanyaan itu.
Lampu malam berwarna kuning buram dan
agak sedih itu lalu tertunduk lemas. Kali ini ia benar-benar tidak mau lagi
memandang mata saya. Saya agak sedih. Saya lalu enggan melanjutkan
bertanya-tanya kepada lampu malam kuning buram yang sedih itu. Dia
bahkan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.
Saya lalu pergi dari situ. Membakar
sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Saya akan memberitahumu sebuah rahasia
di muka bumi ini? Kamu, benar-benar kepengin tahu? Baiklah akan saya beri tahu:
bahwa menghisap rokok itu paling nikmat jika kamu lakukan sambil memandang
lampu-lampu malam ditemani Hujan.
Ah, sudahlah tapi sekarang saya hanya bertemu
lampu-lampu malam. Tak ada Hujan. Dan ini kota Kesepian. Kemana saya harus
mencari Hujan? Tanya saya di dalam hati.
Pada hisapan kedua, saya bertemu dengan
lampu malam lainnya. Ia hijau. Tidak mencrang. Seperti hijau gorden yang sudah
lama sekali tidak dicuci. Agak mbladus.
“Hei, saya tidak tahu kalau kamu
merokok?” Lampu malam hijau mencrang seperti
gorden itu menyapa saya duluan.
“Ah, ya! Saya ng-eh- iya, tidak juga.
Saya memang tidak merokok. Tapi ada satu rahasia: bahwa menghisap rokok itu
paling nikmat jika kamu lakukan sambil memandang lampu-lampu malam bersama
Hujan. Jadi ya begitulah.” Jawab saya sambil mengedikkan bahu.
Lampu malam hijau mencrang seperti
gorden itu tertawa.
“Ah, kamu bisa saja! Itu hanya alasan.
Padahal kamu tahu kan, kalau merokok itu tidak baik untuk kesehatan kamu?”
Saya tersenyum.
“Tidak apa-apalah kalau sekali-kali.” Jawab saya enteng.
“Mau kemana malam-malam begini?”
“Tidak. Hanya jalan-jalan. Saya mencari
... eh, saya mencari ...” Tiba-tiba saya agak kebingungan melanjutkan jawaban
saya. “Saya mencari sesuatu. Saya mencari Hujan. Apakah kamu tahu dimanakah
Hujan tinggal? Dimanakah saya dapat bertemu dengannya?”
“Hujan?
Mereka pergi.”
“Pergi ke mana?”
“Mereka pergi. Pulang. Meninggalkan
kami. Biasalah, ini kan jelang Lebaran. Dan Hujan pulang ke kampung halamannya.”
“Kampung halaman? Saya bahkan tidak
tahu jika Hujan punya kampung halaman.” Jawab saya bingung. “Dapatkah kamu beritahu kepada saya,
dimanakah kampung halaman Hujan?” Tanya saya, begitu penasaran.
“Loh, saya juga nggak tahu. Jelang Lebaran,
Hujan pun pulang meninggalkan kota Kesepian. Setiap orang di kota ini pun
pulang. Mereka pulang ke rumah mereka yang sebenarnya. Di kota Kesepian ini
mereka hanya singgah. Dan selama-lamanya jelang Lebaran, kota ini akan kembali
kesepian, seperti namanya. Bahkan Hujan pun pulang meninggalkan kamu. Ke rumah
mereka yang sebenarnya. Meninggalkan kami, lampu-lampu malam. Itu sebabnya,
kami selalu sedih menjelang Lebaran. Tak ada lagi yang menikmati keindahan
kami. Bahkan Hujan pun tidak menemani kami. Oh, mungkin hanya kamu. Kamu dengan
sebatang rokokmu itu.” Jawab lampu malam hijau mencrang seperti gorden itu
panjang lebar.
Saya lalu agak sedih. Karena Hujan pun
sudah tidak dapat ditemukan di kota Kesepian. Jelang Lebaran, Hujan pulang.
Entah kemana. Meninggalkan kota Kesepian.
“Saya mau memberitahumu sebuah rahasia:
kami, lampu-lampu malam di kota Kesepian tidak pernah pulang jelang Lebaran. Tugas
kami jelang Lebaran memang bukan untuk mencari Hujan seperti yang kamu lakukan.
Tetapi kami ada untuk menerangi jalan-jalan di kota Kesepian. Supaya, ya,
paling tidak, orang-orang seperti kamu tidak berjalan di dalam kegelapan. Atau
tidak merasa kesepian di kota Kesepian. Walaupun terkadang, kami dingin dan
sepi. Itu biasanya akan membuat kami agak sedih, warna kami akan berubah
menjadi agak buram. Tapi kami tetap tegak, berdiri di jalan-jalan menerangi
kota Kesepian.”
Rokok di jari saya sudah habis. Saya
sudah tidak lagi punya persediaan rokok. Sudah tidak ada lagi warung atau toko
yang buka. Sudah tidak ada lagi orang-orang yang berseliweran. Kota ini
benar-benar kesepian seperti namanya. Saya merasa, saya sudah tidak bisa lagi
mencari Hujan. Karena ini adalah kota terakhir dari perjalanan saya. Ini jelang
Lebaran. Dan katanya Hujan telah pulang. Pulang ke rumahnya yang sebenarnya.
Rumahnya yang sebenarnya dimana pun saya tidak tahu. Lampu-lampu malam pun
tidak ada yang tahu. Ini pun kota Kesepian. Tidak ada lagi orang yang bisa saya
tanyakan.
“Dimanakah Hujan tinggal? Kemanakah ia
pulang?”
Ini jelang Lebaran di kota Kesepian. Saya masih juga belum menemukan Hujan.
Saya tidak lagi dapat bertanya kepada lampu-lampu malam. Separuh dari mereka
sudah redup. Mungkin mereka tidur.
Saturday, July 2, 2016
Lelaki Bulan Juli
Saumlaki, Juli 2015
Aku
mengingat kamu di bulan ini setahun yang kemarin, kita bertemu.
Kamu
tidak spektakuler. Kamu datang di hari itu, sederhana, begitu tenang, dengan sepatu kulit
berwarna coklat. Aku memang tidak katakan sebelumnya bahwa, lelaki dengan
selera sepatu yang bagus itu kesukaanku. Kita lalu berbicara setelah pertemuan
itu. Setelah sepatu, hal kedua yang aku perhatikan darimu adalah matamu. Matamu
tidak pernah memandang aku ketika berbicara. Kamu begitu pemalu ketika pertama
kali berjumpa.
Kamu
seperti magnet ketika bercerita. Menceritakan hal-hal yang membuat matamu berbinar-binar
atau sedih. Kayeli, rumah, Mama, puisi, orang muda, hutan Yamdena, dan Maluku
adalah sebagian besar cerita-ceritamu yang aku simpan baik-baik. Aku sempat
mewawancarai kamu untuk kepentingan tulisanku, dan sepanjang perjalanan pulang
dari Saumlaki ke Ambon pada saat itu aku mendengarkannya diam-diam. Jika
sedang rindu, aku suka membacanya. Hal lain yang sering aku lakukan adalah sering
memutar video kita ketika melihat matahari terbenam. Sayang sekali video itu
lenyap bersama hape-ku yang rusak.
Perjalanan
pulang dari jembatan kayu itu adalah kali pertama aku berani memelukmu dari
belakang. Dengan banyak sekali bintang-bintang di atas kepala. Dan di malam itu
pada punggung yang kokoh dan bintang-bintang di atas kepala: aku tahu aku
jatuh cinta.
Cinta
datang begitu tenang.
***
Ambon, Agustus 2015
Setelah
di Ambon segala sesuatu harus berjalan sebagaimana biasanya. Telepon dan saling
mengirimkan pesan pendek tidak berhenti. Saling membacakan puisi di telepon dan
berbagi cerita keseharian adalah kesukaan. Kemudian lahirlah sebuah ide gila
untuk saling mengirimkan puisi melalui pesan pendek.
“Ayo bikin jurnal puisi. Asal tidak saling menjebak!”
“Jika ini adalah menjebak pun tidak apa-apa.
Nekat.”
“Oh Tuhan jauhkanlah kami dari
pencobaan-pencobaan.”
Cinta
tidak saling menjebak. Aku ingat setelah selesai saling mengirimkan pesan-pesan
pendek. Kami bergantian saling mengirimkan puisi. Sekali lagi cinta tidak
saling menjebak. Cinta mempertemukan. Aku dan kamu saling menemukan.
Perjalanan
setelahnya adalah perjalanan puisi. Aku dan kamu lalu roboh kepada kata-kata.
Cinta yang membuat kita takluk kepada senjata yang paling tajam: kata. Persetan
orang mau bilang apa! Tetapi pencobaan-pencobaan memang nikmat.
Karena yang berdosa adalah
ketika jatuh cinta dan tidak menikmatinya.
***
Bandung,
Agustus 2015 hingga Januari 2016
Ada
orang yang datang ke dalam hatimu dan mengambil hatimu lalu pergi begitu saja.
Mereka hanya singgah. Tetapi ada orang-orang yang bukan hanya singgah, mereka
membangun rumah dan tinggal. Mereka tidak akan berubah menjadi kenangan.
(25
Agustus, Catatan Harian)
Di
dalam kasih tidak ada ketakutan. Apalah arti mencintai jika ada
ketakutan-ketakutan.
(11
September, Catatan Harian)
Dear,
Theoresia
Kamu
adalah perempuan yang berbahagia.
(16
Oktober, Ketika Ulang Tahun, Catatan Harian)
Maka
tugas Tuhan adalah berikan saya keyakinan.
(26
Oktober, Catatan Harian)
Jangan marah sama cinta. Bahwa jatuh cinta
adalah merdeka.
(7
Desember, Catatan Harian)
Di
dalam segala ketidakmungkinan, jadilah tenang. Di dalam segala kesedihan
jadilah tenang. Di dalam segala ketidakpastian jadilah tenang. Di dalam segala
keraguan jadilah tenang.
(1
Januari, Catatan Harian)
Lelaki
Bulan Juli, kamu tidak hanya datang dalam ketenangan. Kamu pun datang dalam
setiap pertengkaran-pertengkaran, penyelesaian, rindu, bahkan juga secangkir
kopi hitam.
Aku
mengingat kamu sebagai Pulau Buru, sebuah langit hitam, gelap, dengan banyak
bintang-bintang. Aku mengingat kamu dengan sebuah senyuman dengan gigi yang berderet-deret.
Aku mengingat kamu dengan percakapan-percakapan di telepon hingga pagi hari.
Aku mengingat kamu dengan setiap nyanyian karoke di telepon. Aku mengingat kamu
dengan cerita-cerita mengunjungi orang lain. Aku mengingat kamu dengan
sebagaimana aku adalah perempuan yang memilih tinggal.
***
Ambon,
Februari, Maret, 2016
Tidak
ada catatan yang ingin aku tulis pada periode ini selain:
Aku
ingin menjadi tenang dan mencintaimu tanpa kekhawatiran.
***
Bandung,
April 2016
Rencana
berangkat sekolah lagi ke Salatiga. Aku
mengingat kamu dalam tumpukan buku-buku.
***
Jakarta,
Mei 2016
Kamu
adalah tempat yang paling liar di muka bumi. Jakarta saksinya.
***
Salatiga,
Juni 2016
Aku
mengingat kamu pada sebuah sore berwarna merah muda yang menawan,
berpotong-potong kue labu yang kita habiskan bersama. Jalan-jalan kaki di
sepanjang Salatiga. Membawakan puisi Lawamena di kampus baru. Dan
percintaan-percintaan liar.
***
Bandung,
Juli 2016
Mau
mengerjakan cinta dengan sungguh-sungguh mulai hari ini dengan segala
kepenuhannya. Mulai hari ini dan seterusnya aku hanya mau sayang kamu
sungguh-sungguh.
(Sebuah Catatan
Harian)
***
Kepada
Lelaki Bulan Juli, kamu yang aku sebut kekasih, terima kasih untuk perjalanan,
yang sudah lewat, maupun yang akan datang. Biarlah selalu ada keyakinan yang
menyala di dalam cintamu. Mari bercinta, dalam-dalam, sungguh-sungguh!
Subscribe to:
Posts (Atom)
Featured Post
Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai
Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...