Sudah hampir dua bulan ini saya
tidak lagi siaran. Itu artinya saya sudah tidak terlibat lagi dengan “sistem
perkantoran” dan sekarang benar-benar menjadi freelance. Selama tidak siaran, saya mengajar. Fase ini saya sebut
dengan fase “memperlambat hidup” karena saya sedang ingin lamban dan tidak
ingin tergesa-gesa di dalam hidup.
Ada masa-masa di dalam hidup,
dimana kita memang tidak perlu terburu-buru. Dan fase itulah yang sedang saya
rasakan saat ini. Pernah pada suatu pagi saya bangun, lalu saya lupa bahwa hari
ini adalah hari apa, dan saya harus melakukan apa. Lupakan dulu sejenak. Karena
yang terjadi adalah saya bangun malas-malasan, kadang-kadang tidak mandi, lalu
pergi ke tempat favorit saya untuk
ngopi, kemudian menghabiskan waktu saya seharian di sana untuk membaca buku.
Dan itu sangat menyenangkan.
Karena ada perasaan “penuh” di dalam dirimu. Akhirnya membuat saya berpikir
bahwa ada satu momen di dalam hidup, dimana kita memang tidak perlu “melakukan
apa-apa” hanya menikmati hidup dengan sebagaimana adanya saja. Mengikuti aliran
hidup kita. Oh, bukan berarti saya tidak bekerja sama sekali juga. Saya masih
menulis. Saya mengajar juga. Yang hendak saya sampaikan di sini adalah
bagaimana ada rasa berani untuk “lebih menikmati hidup” sebagaimana mestinya.
Tidak ada beban. Tidak ada tanggung jawab kepada siapapun, melainkan hanya
kepada diri sendiri.
Ada beberapa hal yang kemudian
saya catat. Dengan pada akhirnya keluar dari pekerjaan sebaga penyiar radio,
bukannya meninggalkan mimpi atau passion. Tapi justru break sejenak, sebelum akhirnya melakukan sesuatu yang lebih besar.
Saya merasa seharusnya passion tertinggi
di dalam hidup manusia, yaitu berbagi.
Kenapa berbagi? Ada hal penting
yang kemudian saya sadari bahwa, setinggi apapun kita berlari untuk mengejar “mimpi”
kita, tetapi jika kita tidak berbagi, sama saja dengan hidup kita tidak berisi
apa-apa. Pada akhirnya “mengajar” menjadi pilihan saya pada saat ini. Karena
dengan mengajar saya bisa berbagi sepenuhnya.
Saya akan ceritakan sedikit
kepadamu tentang pengalaman mengajar public speaking saya kepada teman-teman
difabel. Dalam hal ini beberapa diantara mereka menderita cerebral palsy, tuna
rungu, tuna netra. Pengalaman yang menarik ketika mengajar mereka. Saya tidak
hanya berbagi ilmu dengan mereka melainkan saya juga belajar banyak dari
mereka. Ketika mengajar teman yang tunan rungu, tantangannya adalah saya harus
bisa membaca gerak bibirnya, karena saya tidak belajar bahasa isyarat
sebelumnya. Sedangkan jika mengajar teman-teman yang cerebral palsy, saya harus
selalu mendorong mereka untuk selalu ada di dalam posisi stand by. Karena
posisi badan mereka yang tidak bisa tegak lurus.
Hal lainnya yang saya temukan
ketika mengajar teman-teman yang difabel ini adalah mereka nyaman dengan diri
mereka. Mereka tidak melihat kekurangan fisik mereka sebagai kekurangan.
Dibandingkan dengan kita yang katanya “normal” kita malah seringkali terganggu
dengan keberadaan fisik kita.
Tetapi lebih daripada apapun,
berbagi adalah hal yang menyenangkan. Saya menulis di akun instagram saya pada
suatu hari:
Beberapa
minggu terakhir ini saya mendefinisikan banyak. Termasuk kata
"bahagia" sejujurnya saya bukan orang yang sukar untuk bahagia secara
sederhana, seperti melihat sore hari, langit merah, kadang-kadang sudah bikin
hati saya berbunga-bunga luar biasa. Lalu saya sampai pada sebuah pertanyaan
apa yang paling bikin kamu bahagia? coba hening sejenak, lalu berpikirlah.
Setelah lama, akhirnya saya menemukan definisi tertinggi dari bahagia adalah
ketika saya berbagi. Titik. Berbagi bukan hanya materi (karena mungkin saya
tidak akan mampu) tetapi berbagi pengetahuan, kemampuan, energi, semangat,
kesegaran, daya juang, daya tahan, kasih sayang, senyuman, apapun yang sudah
diberikan kepada saya cuma-cuma, saatnya saya bagikan itu kepada orang lain.
Sudahkah kamu berbagi?