Saya hanyalah sebuah peluit. Tiup
saya perlahan; siapa tahu suara saya bisa memecah kehilangan.
Tupu meniup saya membangunkan malam.
Ia sengaja membunyikan saya supaya Moyo mendengarkan dan siapa tahu juga Baba
mendengarkan. Suara saya terdengar lemah di keheningan malam. Memanggil lirih. Tak ada yang
bangun. Tak ada yang peduli. Ada yang mendengar tapi mungkin memutuskan untuk
pura-pura tidak dengar.
Gadis kecil di kursi roda lalu
datang menghampiri Tupu. Namanya Lacuna. Ia ikat konde dua. Kotak musik mengalun
pelan. Lacuna hendak memberikan kotak musik itu kepada Tupu. Mungkin bisa
menghibur Tupu yang sedang sedih.
Tapi Tupu menolaknya dengan
menggelengkan kepalanya perlahan. Sorot matanya sayu. Air matanya jatuh
perlahan di pipi. Ia hendak mengatakan sesuatu kepada Lacuna. Seperti hanya
sepotong kata “rindu” tapi ia tidak tahu bagaimana cara mengatakannya.
The Story of Loss. The Loss of
History.
Balon merah yang terjatuh di
pojok adalah saksi bisu. Mainan roda-rodaan yang pernah dibetulkan oleh Baba
pun demikian. Ketika Tupu sendirian, saya sempat berpikir untuk memeluknya kencang. Atau mungkin mengajaknya pergi membeli es krim supaya rasa
kehilangannya terobati. Atau mengajaknya bermain roda-rodaan. Sempat terbersit juga dalam kepala saya, kenapa Haki,
tetangga sebelah, tidak datang hanya untuk sekedar menyelematkan Tupu. Tidak
juga. Haki begitu tega, pikir saya.
Belum lagi Moyo yang tak
pulang-pulang. Padahal antara Tupu dan Moyo ada saya. Saya peluit yang
menghubungkan mereka berdua. Gara-gara saya Tupu pernah terhindar bahaya.
Sekali saja. Dan kali ini saya merasa bersalah karena saya tidak bisa melakukan
sesuatupun untuk Tupu.
Saya merasa tidak berguna.
Ketika hanya tergantung di leher Tupu, saya tidak bisa berbuat apa. Ingin
sekali saya berteriak meminta tolong kepada orang-orang di kampung untuk datang
menolong. Tapi apalah daya saya.
Napas Tupu semakin lemah. Ia
tidak lagi kuat menghembuskan napas. Ia terduduk lemas di antara malam. Dengan
sekuat tenaga, Tupu mengerahkan sisa tenaganya. Mengepitkan bibirnya kepada
saya. Mungkin inilah yang bisa saya lakukan, mengeluarkan bunyi saya untuk
terakhir kalinya. Kepada siapapun yang mendengar. Semoga mereka bisa datang
menolong.
5 4 3 2 1. Pelan-pelan saya
menghitung dalam hati. Tidak ada orang yang datang. Tupu melepaskan bibirnya
dari saya. Saya terjatuh lunglai di dadanya. Dengan lemah dan tangan-tangan
kecilnya Tupu memeluk dirinya sendiri.
Malam semakin tua. Dalam
dekapan Tupu. Dengan kepala yang tertunduk semakin dalam. Dalam hati saya
berdoa: semoga Tupu tidak dengar ini. Saya peluit merah yang menangis. Pelan sekali.
*mencoba review, pertunjukan Mwathirika oleh papermoonpuppet pertunjukan keren yang sampai saat saya menulis cerita ini pun masih membuat saya tercekat dan merinding membayangkannya. Kamu harus nonton pertunjukannya, teman :)