Hallo.
Bagaimana dengan menikah di
sawah. Kamu tetap badut yang saya sayangi. Kaki-kaki kita telanjang. Saya
dengan dress bunga-bunga. Kamu dengan topi jerami. Saya bisa melihat pipimu
merah.
Ada wangi bir dimana-mana. Semua
orang bersukacita. Mereka tertawa-tawa, karena ini adalah hari bahagia kita. Meja-meja
putih bersinar dengan kue segala rupa. Tak lupa minuman segala warna. Orkestra
mengalun perlahan di kejauhan.
Sayup-sayup suara jangkrik
ikut bercengkerama. Sementara warna senja menembus pipi dan rambut saya.
Sayang, akhirnya kita bersama. Tak ada lagi yang memisahkan kita. Bahkan hari
ini kita berpesta, berdansa, sesekali bercinta di balik semak.
Sementara lainnya terlalu mabuk.
Tak ada juga yang peduli.
”Kamu bahagia?”
”Selalu. Bersamamu.”
Jawaban yang selalu sama,
keluar dari bibirmu yang merah.
Terkadang kamu begitu yakin.
Seperti meyakini saya sebagai pasanganmu. Seperti meyakini saya akan selalu
setia kepadamu. Padahal apalah arti setia? Setia ada ketika saya tahu mata kita
akan saling menatap tanpa berkedip. Setia ada ketika jari-jari kita saling
menelusuri tubuh tanpa lelah.
Setia lebih dari sekedar
perkawinan.
”Kamu, ingin punya anak
berapa?”
”Satu. Laki-laki. Kelak, ia
menjaga saya. Menggantikanmu.”
”Siapa namanya?”
”Hmmm. Bagaimana kalau ’Ilalang’
kamu boleh memanggilnya ’Ila.’”
”Ah, seperti nama perempuan.”
Kamu tertawa. Saya tertawa. Kamu
lalu mencium lembut bibir saya.
Hallo.
Saya melihat wajahmu begitu
jelas. Seperti baru kemarin, kamu mengatakan semuanya. Hangat bibirmu dan wangi
bir masih tercium jelas di hidungku. Ketika di sawah, saya berlutut di bawah
gundukan tanah dengan bunga-bunga segar, yang belum terlalu layu.
Berarti kejadiannya baru saja.
Rasanya seperti Lebaran kemarin.
Jalan Tasik, 31 Agustus 2011. 0:56 – menulis ini ditemani suara masjid dan
wangi kopi.