Sunday, March 18, 2018

[Sebuah Cerita Pendek]: Senja dan Sebuah Cara Untuk Bahagia







Tidak berlebihan jika aku menyukai senja. Barangkali ia hanya sebuah cara untukku sedikit bahagia. Tapi, coba saja kau tanyakan kepada mereka yang lain, pasti jawabannya sama juga. Jika beruntung dan tidak mendung, aku punya sebuah cara untuk mengabadikan senja. Yaitu berjalan dengan kaki telanjang ke belakang rumah, duduk di bawah pohon kalabasa memandang tepian laut yang kemerahan, dan sesekali membiarkan kakiku terkena riak ombak kecil yang menghampiri.

Rasanya asin seperti ciuman lelaki itu di sekujur tubuhku. Bibirnya yang tebal dan basah selalu memburu segala sesuatu yang dapat ditemukannya pada tubuhku untuk ia lumat tanpa ampun. Membayangkannya saja membuat perutku mual tiba-tiba. Seketika aku ingin memuntahkan ciuman-ciuman lelaki itu. Belum lagi jika jari-jari gempalnya mulai menggerogoti buah-buah di tubuhku, dan mencengkeramnya erat-erat. Nasibku kaku bagai pohon kalabasa. Hanya dapat mengatupkan mulutku erat. Menggigiti bibirku hingga berdarah. Aku tak sempat mengingat senja. Ketika hembusan nafas dan erangan lelaki itu menembusi kulit dan telingaku. Sungguh, bukan sebuah keindahan.

Selesai menanggalkan gairahnya yang laknat, ia memasang kembali resleting celananya yang ketat. Menandatangani berkas yang kuberikan padanya di dalam map-map di atas meja. Aku tak mau menangis. Wajah ibuku membayang di kepalaku. Ibuku yang renta dan sakit-sakitan. Selalu sumringah ketika aku membawa pulang beras dan sedikit lauk pauk untuknya. Belum lagi  tanggung jawab biaya sekolah, Ali, Rum, dan Kai, ketiga adikku yang masih kecil.

Semenjak  bapak tidak ada dan ibu mulai sakit-sakitan, aku mulai bekerja di sebuah kantor kecil di daerah kota. Setelah diterima dengan hanya berbekal ijazah SMA, aku memaksakan diriku untuk bekerja sebagai apa saja di kantor itu. Dari mulai membikinkan kopi, mencatat urusan-urusan perjalanan si Bos, membelikan makan malam untuk karyawan yang lembur, dan terpaksa menjadi teman tidur. Yang terakhir adalah pekerjaan melelahkan dan membuatku geram. Karena pekerjaan itu bukan hanya di tempat tidur, melainkan di mana saja ketika hasratnya terbit. Tanpa dapat kutolak. Karena jika aku berani buka mulut, aku terancam akan dikeluarkan dari kantor. Si Bos mengatakan begitu dengan terkekeh, memperlihatkan gigi-giginya yang kuning kecoklatan. Dan itu artinya raib sudah semua biaya yang kutanggung untuk ibu dan obat-obatnya, biaya sekolah adik-adik, makan kami sehari-hari, belum lagi biaya rumah kontrakkan yang masih ada beberapa tahun lagi.

Setiap kali mengingat itu semua, rasanya aku ingin berlari—jauh. Namun kaki-kakiku seperti enggan, mereka hanya manut dipakai berjalan sedikit ke belakang rumah, menemui pohon kalabasa, duduk di bawahnya untuk menikmati senja, yang sementara, dengan sedikit bahagia. Langit hampir gelap. Sebilah cahaya memecah keheningannya. Senja kini berubah menjadi senyum perempuan tua yang masygul.

[Bandung, 18 Maret 2018, pukul 14:27]

*kutulis untuk perempuan-perempuan dengan pelecehan seksual, di mana saja mereka berada, yang karena berbagai alasan memilih untuk bungkam.

No comments:

Post a Comment

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...