Tidak
berlebihan jika aku menyukai senja. Barangkali ia hanya sebuah cara untukku
sedikit bahagia. Tapi, coba saja kau tanyakan kepada mereka yang lain, pasti
jawabannya sama juga. Jika beruntung dan tidak mendung, aku punya sebuah cara
untuk mengabadikan senja. Yaitu berjalan dengan kaki telanjang ke belakang
rumah, duduk di bawah pohon kalabasa memandang tepian laut yang kemerahan, dan
sesekali membiarkan kakiku terkena riak ombak kecil yang menghampiri.
Rasanya
asin seperti ciuman lelaki itu di sekujur tubuhku. Bibirnya yang tebal dan basah
selalu memburu segala sesuatu yang dapat ditemukannya pada tubuhku untuk ia
lumat tanpa ampun. Membayangkannya saja membuat perutku mual tiba-tiba.
Seketika aku ingin memuntahkan ciuman-ciuman lelaki itu. Belum lagi jika
jari-jari gempalnya mulai menggerogoti buah-buah di tubuhku, dan
mencengkeramnya erat-erat. Nasibku kaku bagai pohon kalabasa. Hanya dapat
mengatupkan mulutku erat. Menggigiti bibirku hingga berdarah. Aku tak sempat
mengingat senja. Ketika hembusan nafas dan erangan lelaki itu menembusi kulit
dan telingaku. Sungguh, bukan sebuah keindahan.
Selesai
menanggalkan gairahnya yang laknat, ia memasang kembali resleting celananya
yang ketat. Menandatangani berkas yang kuberikan padanya di dalam map-map di atas
meja. Aku tak mau menangis. Wajah ibuku membayang di kepalaku. Ibuku yang renta
dan sakit-sakitan. Selalu sumringah ketika aku membawa pulang beras dan sedikit
lauk pauk untuknya. Belum lagi tanggung
jawab biaya sekolah, Ali, Rum, dan Kai, ketiga adikku yang masih kecil.
Semenjak
bapak tidak ada dan ibu mulai
sakit-sakitan, aku mulai bekerja di sebuah kantor kecil di daerah kota. Setelah
diterima dengan hanya berbekal ijazah SMA, aku memaksakan diriku untuk bekerja
sebagai apa saja di kantor itu. Dari mulai membikinkan kopi, mencatat urusan-urusan
perjalanan si Bos, membelikan makan malam untuk karyawan yang lembur, dan
terpaksa menjadi teman tidur. Yang terakhir adalah pekerjaan melelahkan dan
membuatku geram. Karena pekerjaan itu bukan hanya di tempat tidur, melainkan di
mana saja ketika hasratnya terbit. Tanpa dapat kutolak. Karena jika aku berani
buka mulut, aku terancam akan dikeluarkan dari kantor. Si Bos mengatakan begitu
dengan terkekeh, memperlihatkan gigi-giginya yang kuning kecoklatan. Dan itu
artinya raib sudah semua biaya yang kutanggung untuk ibu dan obat-obatnya,
biaya sekolah adik-adik, makan kami sehari-hari, belum lagi biaya rumah
kontrakkan yang masih ada beberapa tahun lagi.
Setiap
kali mengingat itu semua, rasanya aku ingin berlari—jauh. Namun kaki-kakiku
seperti enggan, mereka hanya manut dipakai berjalan sedikit ke belakang rumah, menemui
pohon kalabasa, duduk di bawahnya untuk menikmati senja, yang sementara, dengan
sedikit bahagia. Langit hampir gelap. Sebilah cahaya memecah keheningannya.
Senja kini berubah menjadi senyum perempuan tua yang masygul.
[Bandung,
18 Maret 2018, pukul 14:27]
*kutulis
untuk perempuan-perempuan dengan pelecehan seksual, di mana saja mereka berada,
yang karena berbagai alasan memilih untuk bungkam.
No comments:
Post a Comment