foto oleh tim kreatif matoa indonesia
"Hidup itu, ya cukup-cukup saja," bapakku kerap berkata begitu. Bapakku yang sederhana. Ia bahkan belum berniat membeli sepatu untuk mengganti satu-satunya sepatu miliknya. Belakangan kuperhatikan bagian belakang sol sepatunya telah menipis. Ucapan bapak tentang hidup cukup-cukup saja acapkali mengingatkan saya, anak bungsunya, yang semata wayang di tanah rantau.
Beberapa bulan lalu, saya tergerak untuk mengosongkan hampir seluruh dari isi lemari saya, dan membaginya kepada mas Imin dan mbak Imin, asisten ibu kos. Mereka biasanya membantu mengurus rumah dan tamannya yang besar. Beberapa di antara baju-baju yang saya berikan tersebut adalah gaun-gaun yang biasa saya pakai untuk memandu acara. Baju-baju yang hanya saya pakai sekali. Ada juga beberapa baju yang bahkan belum dibuka dari bungkusannya semenjak dibeli. Isi lemari saya hampir ludes. Saya hanya menyisakan pakaian yang benar-benar saya butuhkan.
Ketika selesai membereskan isi lemari, saya merasa pikiran saya jauh lebih lengang dan hati saya jauh lebih lapang. Tidak ada rasa sesal. Hati saya seperti disergap oleh sebuah rasa tenang yang lain. Sejak saat itu saya hanya memakai baju yang ada sehingga tidak perlu mencari-cari yang tidak ada. Dari situ, saya mengenali sebuah arti baru dari kata 'cukup.' Ia adalah berhenti khawatir.
bagi saya, "cukup adalah berhenti khawatir."
Sebuah kata lain dari 'cukup' adalah berbagi. Berbagi sering sekali dibayangkan terjadi dalam keadaan di mana seseorang memiliki sesuatu yang lebih. Tetapi, bagi saya, berbagi memiliki arti lebih justru saat kita kurang. Kenapa ketika kurang? Karena pada saat itu kita belajar untuk mengandalkan kebesaran hati kita.
Saya ingat beberapa waktu lalu ketika saya pulang ke rumah saya di Ambon untuk menghabiskan liburan akhir tahun, bapak saya bercerita bahwa ada seorang nenek yang menawarkan batu bata datang ke rumah, persis pada waktu itu bapak sedang membangun satu bagian dari rumah kami. Nenek itu mengatakan begini, ia punya usaha batu bata di rumah dan pada saat ini ia sedang butuh uang untuk dikirim kepada anaknya yang sedang sakit. Nenek itu bertanya kepada bapak saya, bolehkah ia membawa pulang uangnya dulu, di lain waktu ia berjanji untuk membawa batu bata yang telah disepakati. Bapak saya percaya. Ia memberikan sejumlah uang yang diminta oleh si nenek. Namun hingga saat ini, berbulan-bulan kemudian, batu bata yang dijanjikan tidak pernah dibawa datang.
Bapak menceritakannya di teras rumah kami pada sebuah petang. Ketika itu, matahari menampakkan pendarnya di sela-sela dedaun. Selesai mendengarkan cerita itu, saya melontarkan kekesalan saya. Pertama, saya merasa tidak rela dengan jumlah uang yang telah diberikan bapak, padahal saya tahu betul bahwa bapak sedang membutuhkannya untuk keperluan membangun rumah; dan kedua, saya tidak terima bapak kena tipu. Mendengar itu, bapak hanya tenang saja. Ada senyum kecil di wajahnya yang ikhlas. Ia berkata, "Ketika berbagi dengan orang lain, tidak ada yang pernah hilang dari kita."
Apakah arti cukup bagimu?
*silakan submit juga arti cukup bagi kamu di sini. Dan satu cerita terbaik akan mendapatkan jam tangan dari Matoa.
No comments:
Post a Comment