Theoresia Rumthe
memulai sebuah gerakan kecil bernama “Memelihara Keriting” pada Februari 2017
lalu. “Memelihara Keriting,” menurut Theoresia, “adalah ‘catatan
harian’ dari dan tentang perempuan-perempuan yang berambut keriting.” Tergerak
oleh pengalaman pribadinya sebagai perempuan yang juga memiliki rambut
keriting, ia mewawancarai dan mengumpulkan cerita-cerita yang semuanya berisi
pengalaman perempuan-perempuan dengan rambut keriting mereka. Versi singkat
dari cerita-cerita tersebut bisa dibaca di akun instagram @memeliharakeriting.
Terdapat lebih dari empat puluh cerita yang sudah diterbitkan di sana.
Ada kisah-kisah
yang ‘lucu’ (karena keriting cenderung dijadikan bahan lelucon), tetapi ada
pula yang dramatis (karena perempuan-perempuan berambut keriting harus
teralienasi dari dirinya). Bila semua cerita itu dicermati, maka akan terlihat
satu pola yang sama. Semua perempuan yang diwawancarai pernah mengalami
perlakuan yang kurang lebih sama dan melewati ‘pengalaman-pengalaman tipikal
perempuan berambut keriting’.
Pengalaman tipikal
itu adalah mereka, berkenaan dengan rambut keritingnya, pernah merasa tidak
percaya diri atau merasa tidak cantik. Mereka semua, paling kurang, pernah
berpikir untuk ‘meluruskan’ rambutnya. Entah secara halus atau kasar, mereka
pernah diejek karena berambut keriting. Ada dari mereka yang sampai
dikata-katai mempunyai rambut mirip orang gila.
Dari cerita-cerita mereka tampak jelas bahwa rambut tidak hanya
sesuatu yang personal karena berkaitan langsung secara biologis dengan tubuh
mereka, tetapi juga sesuatu yang publik karena mereka hadir dan terlihat oleh
semua mata. Dengan menceritakan pengalaman sesehari mereka dengan rambut
keriting mereka, Theoresia dan ‘saudari-saudarinya’ memasuki pergulatan
perempuan di mana-mana, yakni menantang ide-ide kultural yang mendasari
pemahaman masyarakat tentang tubuh perempuan dan struktur sosial yang
melaluinya semua itu dilanggengkan.
Theoresia menginisiasi ‘gerakan kecil’ ini, karena ada masa-masa di
mana perempuan, termasuk dirinya, benar-benar percaya bahwa rambut keriting
adalah “penyakit” sehingga harus disembuhkan atau “kesalahan” yang harus
diluruskan. Ada masa-masa di mana mereka, dengan sangat halus, berhasil
diyakinkan untuk percaya bahwa tubuh mereka, rambut keriting mereka adalah
“lawan” yang harus ditundukkan atau bahwa keriting adalah ‘keliaran’ yang harus
dijinakkan.
foto oleh Meicy Sitorus
“Memelihara
Keriting” memang terinspirasi dari pengalaman tipikal itu. Dalam tulisannya,
Theoresia bercerita tentang bagaimana ia dulu pernah begitu tidak menyukai
rambut keritingnya. Pada waktu duduk di bangku SMP, ia pernah mencoret-coret
foto dirinya yang tertempel di buku laporan pendidikan. Bagian rambut
keritingnya itu ia coba ‘lukis ulang’ menggunakan spidol, supaya dalam foto itu
ia tampak seperti memiliki rambut yang lurus.
Semua itu mengingatkan kita kepada penyingkapan Foucault juga Bourdieu
perihal kuasa dan bagaimana kekuasaan itu ditegakkan, bukan secara sederhana
dalam wujud represif satu arah oleh kelompok dominan (misalnya: dalam kasus
ini, laki-laki melalui partriaki terhadap perempuan), tetapi kekuasaan itu
dilangsungkan secara (re)produktif, di mana-mana, dalam wacana dan norma yang
menjadi bagian dari praktik, kebiasaan, dan interaksi manusia yang begitu
sehari-hari.
Theoresia dan ‘saudari-saudarinya’ diproses secara kultural untuk
mengetahui dan percaya pada sebuah ‘kebenaran’ yang mengganggu mereka, bahwa
rambut tidak lurus itu jelek, dan dari situ mereka diajari untuk menginginkan
rambut lurus. Bila tubuh perempuan diandaikan sebagai teks kultural, maka ada
banyak perempuan dan laki-laki yang masih terus membaca rambut keriting sebagai
‘bukan cantik’ atau ‘tidak lebih cantik’ daripada rambut lurus. Hal yang sama
terjadi ketika mereka membaca bentuk tubuh, warna kulit, dan seterusnya.
Serentak dengan itu, mereka terseret dalam pusaran besar
eksploitasi-eksploitasi manis yang dikerjakan oleh pasar, karena
kecantikan--tak dapat disangkali--adalah salah satu komoditas paling laris
manis di mana perempuan dan tubuhnya adalah pasar dan komoditas sekaligus.
Dalam kondisi demikian, “Memelihara Keriting” sebagai praktik sesehari
(keramas, menyisir, menggerai rambut keriting) adalah suara nonverbal yang
pelan-pelan mengeja ‘keriting’ sebagai ‘cantik.’ Perempuan-perempuan berambut
keriting sedang mendefinisikan kepada diri mereka sendiri, “Apa itu cantik?”
dan definisi yang berusaha mereka ciptakan itu hadir di dalam pertarungan
kekuasaan. “Memelihara Keriting” adalah pelantang suara perempuan-perempuan
berambut keriting dalam sengketa kultural atas tubuh mereka.
Sebagai perbuatan sesehari, “Memelihara Keriting” menunjukkan
bagaimana perempuan-perempuan berambut keriting itu menolak menjadi “docile
body.” Rambut keriting yang terus mereka rawat adalah keliaran-keliaran
yang menolak untuk dijinakkan ‘rezim kecantikan konvensional.’ Gerakan kecil
ini mengajak perempuan-perempuan dan publik luas untuk memahami bahwa rambut
keriting mereka, bahkan tubuh mereka seutuhnya, adalah teks kultural yang
jalinan maknanya diproses secara historis dalam relasi-relasi kekuasaan yang
terjadi di berbagai ruang sosial.
Bagi Theoresia, ada beragam definisi kecantikan di dalam masing-masing
budaya. Tetapi dominasi standar kecantikan budaya tertentu, yakni kecantikan
konvensional, misalnya: cantik adalah berambut lurus, yang berkelindan dengan
gempuran pasar, dan untuk waktu yang lama telah berhasil membuat
perempuan-perempuan berambut keriting mengalami beragam peristiwa yang tidak
menyenangkan, baik di dalam dirinya sendiri maupun di lingkungan sosialnya.
Dalam kondisi demikian, menurutnya, “Memelihara keriting adalah perlawanan. Perlawanan terhadap stereotipe masyarakat luas,
penyeragaman definisi kecantikan, dan nilai diri palsu yang dengannya perempuan
dikuasai dan diasingkan dari dirinya sendiri sendiri.”
-
Ditulis oleh Weslly Johannes, tulisan ini diterbitkan juga di sini.