Dilale,
Kau pasti pernah bermimpi nak.
Dilale, suatu hari ketika malam
malammu penuh dengan mimpi, aku rasa kau harus mulai mencatatnya.
Aku lupa. Tepatnya sekitar
sepuluh, iya, mungkin sepuluh tahun lalu. Aku pernah bermimpi. Di mimpi itu,
aku sedang berada di dalam bioskop. Aku sedang mendorong kereta bayi. Dan di
dalamnya ada seorang bayi perempuan.
Bukan hanya ada aku, tetapi ada
juga seorang anak laki-laki, dan seseorang yang pasti adalah suamiku. Ia duduk
persis di sebelah kiri. Gelap. Aku tidak dapat melihat wajahnya. Kami menonton
film yang entah apa. Aku tidak dapat mengingatnya.
Di tengah tengah film, anak
laki-lakiku agak bosan, dan mulai berdiri dari kursinya. Ia hendak berjalan
keluar ruangan. Sementara aku hendak menahannya. Laki-laki yang duduk persis di
sebelah kiriku, berbicara, suaranya halus, hampir berbisik. Ia mengelus
lenganku, dan aku lupa, apa yang ia katakan, tapi itu sesuatu yang menenangkan
tepat di telingaku.
Aku tidak lihat wajahnya karena
gelap.
Tetapi aku mengingat sentuhannya. Ketika bangun dari tidur, Dilale,
sentuhan di lenganku masih terasa. Aku bertemu dengannya, kurang lebih sepuluh
tahun kemudian. Aku mengenalnya, dari sentuhan pada lengan. Sentuhan yang sama
sepuluh tahun yang lalu di dalam mimpi.
Dilale, tidak ada yang terlalu
misterius di dalam hidup. Rasanya jika peka, hidup bahkan sudah bicara kepada
kita jauh-jauh hari sebelum akhirnya dipertemukan dengan kenyataan. Walau hanya
lewat mimpi.
Bioskop, kereta bayi, anak
laki-laki, anak perempuan, dan sentuhan. Anak perempuan itu adalah dirimu,
Dilale. Jauh, jauh sebelum kau ada dan surat surat ini dibuat, aku sudah
melihatmu.
Jauh, jauh sebelum aku jatuh
cinta dengan ayahmu, sekarang, besok,
dan nanti. Aku sudah bertemu dengannya lewat mimpi: di sana kami memang
sudah sepasang.
Ibu.