Apalah saya jika harus menulis
tentang Mochtar Lubis. Saya menemukan bukunya pada rak buku di kineruku, tempat
saya biasa meminjam buku. Sebuah buku
kecil, dengan warna halaman yang sudah mulai kekuning-kuningan, dan ada
beberapa halaman yang sudah hampir copot dari bukunya.
Saya membacanya dan menemukan
semua pemikiran yang cerdas yang diutarakan Mochtar Lubis dari awal sampai
akhir. Saya tidak dapat menemukan kata lain selain cerdas. Saya tidak heran
ketika menemukan bahwa, ia belajar beberapa bahasa secara otodidak. Tidak hanya
itu kemampuan jurnalistiknya juga ia peroleh secara otodidak. Lubis punya kecerdasan di dalam darah.
Selain itu ia begitu lugas. Ia
tipe orang Sumatra yang berbicara tidak bertele-tele, dan menyampaikan apa yang
ia yakini dengan sangat lurus. Membaca Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia
(sebuah pertanggungan jawaban) ada 3 perspektif yang saya dapatkan:
1. Mesin Waktu. Ada hubungan yang
cukup akurat ketika ia menulis buku ini di tahun 1977 dan masih terasa relevansinya
di tahun 2014. Saya membaca tulisannya lalu di dalam hati ada jawaban “Ya”
dengan lantang. Bahwa saya setuju dengan sudut pandangnya tentang generasi muda
pada jaman itu, dan juga terhubung dengan generasi muda jaman sekarang. Saya
merasa bahwa, jangan-jangan, kami generasi muda Indonesia, tidak bertumbuh.
Jangan-jangan, kami generasi muda Indonesia, hanya mengulang pola leluhur kami, yang bermalas-malasan, ongkang-ongkang
kaki, tidak punya daya tahan, tdiak punya daya juang, mau enaknya saja, mau
sukses, tetapi lupa bekerja keras. Saya takut bahwa jangan-jangan kami generasi
muda Inonesia memang tidak kemana-kemana, kami mengatakan diri kami “keren”
padahal sungguh kami ini hanya sampah yang suka “memegahkan” diri sendiri.
2. Membongkar pencitraan. Ia juga
membongkar wajah kami generasi muda yang sebenarnya. Ketika saya membaca
buku ini, saya juga mendapatkan kesan bahwa, sebenarnya tulisan ini dikhususkan
untuk kami, generasi muda pada jaman ini, yang senang bermain sosial media,
dengan memamerkan segala “keberhasilan” kami yang fana di path. Mengunggah
foto-foto perjalanan kami di facebook, atau menuliskan status-status “absurd”
di twitter demi pencitraan, juga dalam rangka mendapatkan jumlah “follower” atau memosting quotes di instagram, tanpa
penghayatan yang dalam terhadapnya. Sungguh kami ini babi-babi licik.
3. Pada halaman 88. Ada poin ke-3,
ia menulis bahwa: ...”kita melihat betapa perlunya kita belajar memakai Bahasa
Indonesia secara lebih murni, lebih tepat dalam hubungan kata dengan makna,
yang mengandung pengertian, kita harus belajar menyesuaikan perbuatan kita
dengan perkataan kita.” Sesungguhnya ketika membaca bagian ini, saya langsung
ingat bahwa saya adalah generasi muda kekinian yang sudah lupa kepada seni
percakapan mata dengan mata, daging dengan daging, membaui lawan bicara saya,
karena percakapan kita sudah semakin minim, melalui email, sms, chat, whatsapp.
Bahwa kami adalah korban teknologi yang kemudian mengubah kami menjadi robot.
Tidak hanya robot, kami juga suka menggunakan bahasa Inggris. Padahal kami lupa
bahwa Bahasa Indonesia cukup keren.
Intinya, jika kamu generasi
muda yang kekinian. Kamu harus baca buku ini. Saya percaya jika Mochtar Lubis
adalah orang Maluku, ia akan menulis begini: Generasi muda itu musti banyak
baca buku. Jang pambodok macang karbou! (Jangan bodoh seperti kerbau!)