Pernahkah kamu memandang langit
malam, tanpa bintang. Hanya bulan setengah dengan sinar redup. Dari jendela
kamarmu bahkan sinar redup bulan yang hanya setengah itu, tidak bisa menemani
kekosongan yang ada di dalam hatimu. Itulah rasanya ketika menonton film
Selamat Pagi Malam.
Selain itu Lucky Kuswandi
sengaja memasukkan beberapa kritik sosial tentang Jakarta, bahwa manusia pada
umumnya sudah kehilangan kemampuan untuk “membahasakan” perasaan-perasaannya
secara langsung. Bahwa saat ini semua perasaan sudah tergantikan dengan gadget
dan emotikon. Tetapi sungguh mereka lupa bahwa, emotikon titik dua bintang
tidak sanggup untuk menggantikan rasa bibir ketemu bibir yang sebenarnya.
Selamat Pagi Malam banyak bicara
banyak soal rasa. Tentang bagaimana mengungkapkan rasa dengan berani. Tentang “membahasakan” rasa. Tentang belajar untuk membaui sesamamu dengan jujur.
Film ini mengajak saya dan kamu
untuk melihat sekelumit permasalahan orang-orang Jakarta, yang bisa saja salah
satu dari orang-orang itu adalah saya atau kamu. Lalu ada sebuah pertanyaan
besar di kepala saya ketika selesai menontonnya yaitu: apakah saya berani
memaknai sebuah kekosongan?