Masih menyangkut puisi dan
kecintaannya terhadap puisi. Sebutlah satu nama Weslly Johannes. Saya sendiri
belum pernah mendengar Weslly membaca puisi, tetapi dari beberapa cerita
teman-teman, cara Weslly menulis lalu membacanya akan membuat kamu yang mendengarkannya
bergetar. Mari kita simak obrolan saya dengan Weslly berikut ini:
Kapan
mulai menulis puisi?
Beta sudah tidak ingat persis
kapan pertama kali beta menulis puisi. Kira-kira SMA kelas 2 atau mungkin kelas
3. Sejauh beta bisa ingat, suatu waktu beta pernah menunjukkan puisi yang beta
tulis untuk teman-teman baca pada saat sedang bolos sekolah. Semenjak itu beta
sering menulis sesuatu, yang menurut beberapa orang itu adalah puisi. Tetapi
entah tulisan-tulisan waktu itu layak disebut sebagai puisi atau tidak. Bahkan
sampai malam ini pun beta merasa tidak yakin kalau tulisan-tulisan yang beta
tulis itu dapat disebut puisi dalam pengertiannya yang ketat. Beta lebih sering
menyebut tulisan-tulisan itu "semacam puisi", atau terserahlah.
Apapun namanya bukan masalah, beta tidak memusingkan hal itu. Beta hanya ingin
menuliskan apa-apa yang, barangkali, bermanfaat memelihara kehidupan, dan pada
saat yang sama membantu beta merenungkan sesuatu secara lebih mendalam, melihat
dengan mata hati.
Pernah
tembak cewek sama puisi?
Beta belum pernah pakai puisi
untuk 'tembak' cewek, sekalipun beta tahu ada banyak nona yang menyukai puisi.
Meski begitu, beta sudah beberapa kali bikin "semacam puisi" untuk
beberapa perempuan, di antaranya untuk beta punya mama; yang kedua itu untuk
mengenang Almarhumah. Pdt. Els Tarumaseley, beta punya dosen; juga untuk Talsea,
perempuan yang beta kenal di kampus, dan yang terakhir untuk Petra, seorang
pelukis.
Ada
buku favorit yang mempengaruhi selama menulis puisi? Ada puisi favorit dari
penulis tertentu dan kenapa suka sama karyanya?
Dua pertanyaan ini beta jawab
sekaligus, Usi Theo. Seperti biasanya, beta sulit menjawab pertanyaan yang
begini sebab beta suka banyak buku, tetapi barangkali buku-buku teologi dan
filsafat-lah yang banyak memengaruhi beta selama ini dalam hal menulis puisi
atau apa pun. Beta belum banyak membaca buku (kumpulan puisi), terutama jika
pertanyaan ini mengharapkan akan keluar nama-nama penyair besar dari beta punya
mulut. Sejujurnya, beta suka puisi-puisi karya Rudi Fofid dan Morika Tetelepta.
Beta banyak kali membaca puisi-puisi beliau berdua ini sebelum menulis puisi
sendiri. Di antara yang banyak itu, beta sering membaca ulang "Untuk
Ibu" karya Morika, dan "Pada Ombak Putih-putih yang Datang dari
Laut" karya Rudi. Apabila hal itu pertanda dua puisi ini adalah yang
favorit, itu karena dua puisi ini selalu bikin beta ingat kepada beta punya
mama dan beta selalu melihat beta punya bapa dalam puisi karya Rudi Fofid yang
beta sebutkan terakhir.
Bagaimana
menurut Weslly tentang minat baca anak anak muda Maluku? Dan apa yang bisa
dilakukan soal minat baca yang kurang ini kalau menurut Weslly?
Karena pembicaraan ini masih
sekitar puisi, maka apa yang masih bisa dilakukan adalah membuat anak muda
Maluku menyukai puisi, menyukai sastra. Barangkali salah satu caranya ialah
terus bikin #MalamPuisi, seperti yang sudah Usi Theo dan kawan-kawan di Ambon
lakukan beberapa waktu lalu. Mengembalikan puisi sebagai salah satu bentuk
ekspresi kehidupan manusia, lepas dari klaim siapa yang penyair dan siapa yang
bukan penyair. Di samping itu, beta merasakan ada kebutuhan untuk menambah
jumlah perpustakaan di kota Ambon dan kota-kota lainnya di Maluku saat ini, dan
bukan melulu pusat-pusat perbelanjaan, juga taman-taman bacaan di
pelosok-pelosok negeri ini supaya sejak kecil anak-anak Maluku dapat dibiasakan
untuk membaca. Barangkali dari situlah, anak muda Maluku akan mulai gemar
membaca.
Ada
pesan untuk adik-adik yang mau belajar nulis puisi?
Untuk semua yang mau belajar
menulis puisi, tulislah. Belajarlah juga dari karya-karya penyair terdahulu,
sambil tetap berusaha menemukan atau menciptakan hal-hal baru dalam karyamu.
Mari mengasah kepekaan dengan berpuisi sebab ada banyak nurani yang hampir
mati. Selamat merayakan hidup sebagai puisi.
***
Sedikit catatan dari Weslly
Johannes:
Sudah pagi hari dan beta balas
pesan ini dalam keadaan lelah campur kantuk, tetapi terima kasih banyak, karena
Usi Theo menyediakan cara yang bermanfaat bagi beta untuk melewati malam. Beta
akan siap-siap berangkat dari Saumlaki untuk kembali pulang ke Makatian, sebuah
negeri di Tanimbar Selatan, tempat beta sedang menjalani masa vikariat, masa
persiapan untuk menjadi seorang pendeta di Gereja Protestan Maluku. Beta lahir,
dan menikmati masa kanak-kanak hingga masa remaja di Nametek, pemukiman baru
bagi penduduk Dusun Kayeli Kristen yang direlokasi karena bencana banjir yang
membinasakan semua rumah. Daerah itu berada sekitar empat kilometer dari Kota
Namlea, Pulau Buru. Masa-masa yang indah sebelum akhirnya harus menyingkir ke
Ambon karena kerusuhan yang memuncak dan merambat ke mana-mana. Tamat dari SMA
Negeri 6 Ambon, beta pergi belajar teologi di Universitas Kristen Indonesia
Maluku. Menjelang akhir masa kuliah, beta berjumpa kawan-kawan dari berbagai
komunitas di Kota Ambon dan sepanjang perjumpaan itu kami telah menjadi seperti
saudara. Pada waktu itu, beta bersama-sama dengan anak-anak pengungsi dari
Kayeli membentuk satu komunitas bernama Gunung Mimpi untuk saling tolong,
belajar, dan beraksi bersama-sama. Kegiatan belajar dan berbagi itu masih terus
berlangsung hingga sekarang. Pada saat itu pula, beta kembali menulis puisi.
Ada banyak semangat yang beta rasakan dari perjumpaan dengan kawan-kawan
Bengkel Sastra Maluku, dari Rudi Fofid dan Morika Tetelepta, sampai Revelino
Berry dan Wirol Haurisa. Pengalaman paling mendebarkan adalah, oleh Rudi Fofid,
beta tiba-tiba 'ditodong' untuk membaca puisi pada malam Pawai Obor Pattimura.
Ini kali pertama beta membaca puisi di untuk didengar banyak orang. Baru di
Ambon pula beta pertama kali baca puisi yang beta tulis sendiri di depan banyak
orang. Pengalaman paling mengasyikkan adalah membaca puisi di #TrotoArt,
panggung seni pinggir jalan yang diadakan oleh kawan-kawan Ambon Band
Community. Lalu yang paling terakhir, beberapa minggu yang lalu beta sempat
membacakan sebuah puisi dari mimbar gereja, rasanya jauh berbeda dari yang di
pinggir jalan, namun tetap saja mengasyikan sekaligus mendebarkan dan
menggairahkan.
***
Silakan follow Wessly Johannes
di twitter @prov_weslly :)