Bukan berarti nggak boleh
kritis sama hidup. Tapi manusia terlalu kerdil untuk rencana rencana besar
terhadapnya. Semua telah diatur.
Bunyi tweet saya. Bukan hanya
sebuah tweet, tetapi itu juga dalah sebuah perenungan panjang, ketika
akhir-akhir ini saya sering berpikir. Mendadak perenungan itu kok sepertinya
menyiratkan bahwa kita “menyerah” terhadap hidup. Seakan-akan terlalu nrimo dan ujung ujungnya tidak mau
berbuat apa-apa lagi.
Tetapi akhir-akhir ini saya
sedang berpikir tentang sebuah penyerahan hidup yang paling dalam. Bahwa
penyerahan hidup ini hanya semata-mata karena saya hanya terlalu kerdil untuk
sebuah rencana rencana besar yang akan terjadi di dalam kehidupan saya. Sungguh
saya tidak akan pernah mengerti jalan-jalannya. Sungguh saya tidak pernah
mengerti karena konon otak saya hanya sebesar bakpau.
Pernahkah kamu bangun di pagi
hari dan kamu mendapati dirimu masih diberikan kesempatan nafas hidup, lalu
kemudian kamu turun dari tempat tidur, agak sedikit melakukan perenggangan
sejenak, minum air putih yang banyak, membuka gorden jendela kamarmu
lebar-lebar, melihat pucuk daun hijau di luar jendela kamarmu dan berpikir
kenapa kamu masih hidup? ataukah kok bisa ya saya masih dikasih kesempatan
untuk hidup? ini mungkin akan menjadi pertanyaan yang paling aneh yang kamu
lakukan. Tapi begitulah, hidup tidak datang dengan sendirinya, begitupun mati,
semuanya ada yang mengatur.
Sebagai manusia yang terlalu
kerdil, ada kemungkinan saya tidak punya hak apa-apa untuk menggugat segala
sesuatu yang terjadi. Satu hal yang saya pelajari dan coba renungi selama
hari-hari ini adalah: bagaimana saya tetap mensyukuri hidup yang menghampiri
saya, dan menyerahkan hidup saya ke tangan sang kuasa dalam-dalam. Ini bukan
klise. Ini hanya sebuah keyakinan bahwa, apapun yang terjadi di dalam kehidupan
saya tidak lepas dari kendali dan
pemeliharaan yang kuasa.
No comments:
Post a Comment