Perempuan yang saya panggil
Mama. Ia perempuan berambut keriting dengan hidung mancung dan mata besar
dengan sinarnya yang lembut. Ia senang bernyanyi pada tiap kesempatan. Dengan
senyum lebarnya, ia yang paling pertama mengancungkan tangan, ketika kebaktian
Minggu dan pendeta bertanya “apakah ada solo atau paduan suara?” dengan lantang
ia akan menjawab “saya.”
Perempuan yang ceria, tidak
pernah mengeluh tentang kondisi badannya yang sudah semakin renta. Ia hanya terlalu
bersemangat, melayani panggilan Tuhan di dalam hidupnya untuk menjadi seorang
pendeta. Ia masih suka dipanggil melayani kebaktian walaupun jarak yang
ditempuh terkadang jauh.
Ia yang menemani saya pergi
beli beha untuk pertama kalinya. Dan bukan mengajarkan saya bagaimana pintar
memasak di rumah, tetapi bagaimana jago berbicara di depan umum. Bukan hanya
ayah. Mama yang adalah seorang pendeta pun adalah contoh bagaimana saya berani
berbicara di depan umum.
Saya lupa ketika itu saya umur
berapa, seingat saya sudah berusia sekolah, ketika sudah di Ambon dan kedua
orang tua saya masih melayani di Larat, Tanimbar Utara, mereka mengunjungi kami
hanya jika ada jadwal kapal ke Ambon. Dan setiap kali hendak berpisah lagi,
karena mereka harus kembali ke Larat. Saya suka ngambek. Saya benci sekali
perpisahan. Menurut saya yang masih kecil pada waktu itu, kenapa sih musti
kembali lagi ke Larat dan meninggalkan kami, anak-anaknya di Ambon. Tetapi
ketika dewasa saya mengerti bahwa mereka melakukannya karena pelayanan. Karena
cinta terhadap Tuhan.
Saya tidak lupa ketika harus
belajar mengelola uang yang ada sedikit sedikit ketika akhirnya sekolah di luar
dan merantau, Mama selalu menasihati bahwa gaji pendeta itu gaji kecil, katong ini hidop hanya dari orang pung uang-uang
kolekte. (kita ini hidup hanya dari orang punya persembahan di gereja).
Mama juga adalah seorang
“pengumpul dokumentasi” yang handal. Ia senang merayakan momen. Ia bukan
fotografer, tetapi kemanapun ia pergi, ia selalu menyempatkan untuk memotret
apapun. Album kami, 3 bersaudara perempuan ketika bayi hingga wisuda, menikah,
Mama mendokumentasikannya dengan lengkap.
Mama juga adalah seorang
pejuang, sebagai pendeta, sebagai pelayan jemaat, ketika kerusuhan dan Jemaat
Kezia yang tadinya berlokasi di kebun cengkeh harus keluar, ia dengan timnya
mengusahakan untuk mencari lokasi baru, akhirnya lokasi Jalan Baru, Farmasi
Atas, Dusun kate kate, Desa Urimessing yang kini kami tinggali, adalah salah
satunya perjuangan dari Mama saya.
Ia mencintai ayah. Kisah cinta mereka dimulai sejak di bangku kuliah. Mereka adalah sepasang kekasih yang saling melengkapi. Tidak hanya itu mereka adalah sepasang sahabat. Karena merekalah, saya belajar bahwa pada akhirnya setiap kita tidak hanya membutuhkan pasangan. Tetapi setiap kita membutuhkan sahabat: tempat berbagi, tempat bercerita.
Mama Ruth dengan
pertandingannya telah usai. Untuk itulah ia akhirnya dipanggil pulang. Tidak
ada yang terlalu cepat atau tidak ada yang terlalu terlambat. Waktu Tuhan
selalu tepat.
Turut berduka. Semoga yang ditinggalkan semakin kuat dalam hidupnya.
ReplyDelete