Di dekat pompa bensin di
Kelurahan Siwalima Dobo Kepulauan Aru, Maluku, ada sebuah lorong. Orang
menyebutnya Lorong Agen. Nah, di sisi
lorong ini ada rumah papan yang belum rampung.
Belum ada daun pintu dan jendela.
Juga belum ada plafon, apalagi perabot.
Rumah ukuran sekitar 8 x 6
meter itu seperti banyak rumah di Dobo, dibangun di atas tanah rawa. Tinggi di muka air sekitar 1 meter. Untuk masuk ke dalam rumah, harus melalui dua
lembar papan sebagai pengganti tangga supaya tidak tercebur ke dalam rawa yang
ditumbuhi eceng gondok di mana-mana.
Di dalam rumah, hanya ada dua
lembar tikar pandan di atas lantai papan.
Dua spanduk bekas kampanye pemilihan gubernur juga sebagai alas. Di dekat pintu masuk, ada papan informasi. Sebuah selebaran dan puisi provokatif
ditempel di situ. “Aru, Tarik Busurmu”
begitu judul puisi. Sebuah tulisan lain dengan huruf besar, terbaca sangat
jelas.
“Satu Hati, Tolak PT Menara
Group dari Bumi Jargaria”
Di rumah milik aktivis Yusuf
Parsin yang belum kelar inilah bermarkas Koalisi Pemuda dan Masyarakat
Aru. Mereka melakukan konsolidasi dan
koordinasi pergerakan demi perlawanan terhadap rencana kehadiran PT Menara
Group yang mau membangun kebun tebu seluas 500 ribu hektar di atas tanah adat orang Aru.
Dipimpin Yos Sudarso Labok yang
dikenal sebagai jurnalis dan aktivis, posko itu selalu rame. Banyak aktivis berkumpul untuk melakukan
advokasi dan saling menguatkan. Beberapa
perempuan Aru rajin menyuguhkan kopi tumbuk dan sagu pompom.
Para pemuda Aru ini datang dari
berbagai latar belakang pendidikan, usia, jenis kelamin, agama, etnis dan sub
etnis. Ada mahasiswa, sarjana, Pegawai
Negeri Sipil, bahkan penjual sayur di pasar tradisi. Ada yang usianya belasan tahun, namun ada
pula di atas 60 tahun.
Pemuda dan warga Aru punya
seribu alasan, mengapa harus menolak investasi perkebunan di Bumi Jargaria,
sebutan untuk Aru. Selain kekayaan flora
dan fauna khas Aru seperti cendrawasih, kakarua, kanguru, rusa, kasuari, di
atas lahan yang diincar sebagai perkebunan tebu, bertebaran pula tempat-tempat
sakral yang sangat dihormati orang Aru.
Dalam kisah Aru semasa
purbakala, pernah ada tsunami yang dikenal sebagai peristiwa Enu-Karang. Orang Aru di Pulau Enu dan Pulau Karang
menyelamatkan diri dari gelombang pasang raksasa dengan belang. Tiap-tiap
belang menemukan pulau-pulau besar di Aru sebagai tempat hunian baru. Nah, marga-marga di Aru terhimpun dalam mata
belang. Setiap mata belang punya tempat
sakral yang tersebar di dalam hutan-hutan Aru, sebab dahulu kala,
kampung-kampung tidak berada di pesisir pantai melainkan di dalam hutan.
Kalau Menara Grup membuka lahan
kebun di Aru, bukan saja cendrawasih dan hewan khas Aru terancam, namun
tempat-tempat sakral juga akan dilindas traktor supaya dibuat bedeng-bedeng
tanah tempat tebu tumbuh. Itulah yang
dicemaskan para pemuda dan tetua adat di Aru, saban kali mereka berdiskusi di
Posko Eceng Gondok itu.
Berangkat dari kecemasan itu,
ditambah kabar perizinan Menara Group yang dipaksakan oleh gubernur dan bupati,
bahkan menteri kehutanan, maka dari posko ini, koalisi telah menggelar demo
sepanjang jalan Kota Dobo. Mereka
memasang Sasi Sirsir yaitu sasi perempuan di pintu Gedung DPRD Aru. Inilah sasi terberat dalam tradisi Aru. Koalisi juga memasang palang di pintu Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Aru.
Semua ini sebagai ekspresi perlawanan rakyat terhadap konsorsium Menara
Group. (teks rudi fofid/foto maichel koipuy)
*teks asli diambil dari sini, http://savearuisland.com/2013/09/28/aru-lawan-menara-group-dari-rawa-eceng-gondok/ postingan ini dimaksud untuk menyebarluaskan dan mendukung kampanye #SaveAruIsland yang akhir akhir ini sedang marak di timeline saya. Silakan follow SaveAruIslands untuk berkontribusi di sana.
No comments:
Post a Comment