Namanya Bulan. Kadang ia Bulan
Sabit. Kadang ia bulan setengah. Kadang ia bulan hampir penuh. Kadang ia bulan
bulat sempurna. Namaku Awan Hitam, padakulah ia biasanya menggantung.
Aku pernah mendengar tentang
mitos yang mengatakan bahwa pada tubuh Bulan terperangkap seorang anak kecil
bersama ibunya. Mereka suka bermain dengan ceria. Kadang ibu menyanyi, si anak
kecil menari. Sebaliknya giliran si anak yang menyanyi, ibu akan berdendang.
Bulan tenang-tenang saja. Ia
tahu pada tubuhnya hidup ibu dan anak kecil. Sedangkan aku adalah Awan Hitam.
Padakulah Bulan menggantung. Dan sudah lama aku menaruh hati pada Bulan. Aku
hanya Awan Hitam, aku kadang tidak kelihatan. Bulan yang keperakan terkadang
merona ketika aku goda. Ketika tanganku tidak sengaja menyentuh lembut pipi
Bulan. Ketika diam-diam aku punya sebuah keinginan sederhana, ingin mencium
bibir Bulan.
Diam-diam aku suka membayangkan
bibir Bulan. Bentuknya tebal sempurna. Aku suka membayangkan jika, kami saling
memagut ketika hujan jatuh. Karena ketika itu, Bulan biasanya menyelip ke dalam
sari sari bajuku yang hitam.
Hari yang kutunggu pun tiba.
Aku sendiri malu jika mengaku kepada Bulan, bahwa aku sudah lama
menginginkannya. Hujan jatuh ketika larut. Bulan masuk ke dalam sari sari
bajuku yang hitam kelam. Dan ia bisa melihat tubuhku yang telanjang. Di sana,
kami saling memagut. Bibirnya dan bibirku menyatu ketika hujan.
Di sana aku melihatnya, ia
lebih perak daripada biasanya. Bulan kini memerah. Ia menggigil dalam
pelukanku. Aku bisa merasakan nafas Bulan yang memburu pada helai helai
rambutku, Awan Hitam, yang bahkan tidak pernah kelihatan selama ini.
Ibu dan anak kecil yang suka
bermain pada tubuh Bulan, mendadak lenyap ketika hujan tiba. Mereka seakan
mengerti bahwa, ketika itu Bulan adalah milik Awan Hitam sepenuhnya. Ya, ketika
hujan.
Jadi, jika kamu tidak melihat
Bulan alpa ketika hari hujan. Ia sedang bersamaku Awan Hitam. Yang biasanya padaku,
ia menggantung.
Aku suka metafora awan hitam, perempuan sore memang selalu bisa
ReplyDelete