Voor mama Ruth yang (lagi) di Samarinda:
dari kemarin aku ingat mama. ingat pertengkaran terakhir kita. sedih? iya. mama juga, kan? aku tahu mama pasti suka menangis diam-diam. karena kita sama. suka menangis diam-diam.
aku ingat foto aku lagi menangis di dalam kapal perjalanan ke Larat. di foto itu mama lagi gendong anak kecil keriting pake pelampung yang lagi menangis lebar-lebar. ah, mama tahu, aku ingin sekali jadi 'anak kecil itu' yang tidak malu menangis lebar-lebar.
mama itu selalu menjadi 'tukang dokumentasi' yang baik, untuk aku. foto-foto dari aku kecil sampai dewasa. tersusun dengan apik, di album-album itu. bahkan pertama kali aku pakai seragam TK sampai Mahasiswa, selalu tak lepas dari 'dokumentasimu'. mama selalu ada di waktu 'pertamaku'.
kalau masak, mungkin mama tak bisa. aku sendiri sampai heran, bagaimana mungkin? papa jatuh cinta padamu, padahal jaman itu, perut nomor satu. tapi untuk urusan rumah dan kamar rapih, aku tahu mama jagonya. bau seprei baru di kamar yang rapih, sampai menyiapkan kaos kaki yang matching untuk papa.
waktu kecil aku seringkali menangis, kalau mama dan papa akan kembali tugas di luar kota. mama tahu, aku kadang menangis diam-diam, di kamar mandi. aku sedih sekali, kalau harus dititipkan lagi ke oma atau tante. dan aku ingat sekali, waktu itu mama gendong aku sambil usap-usap rambut terus bilang "perginya ngga akan lama kok" padahal selepas itu, kadang aku masih suka menangis diam-diam.
kalau mama pulang tugas, aku pasti akan memilih untuk tidur bersamamu ketimbang tidur di kamarku sendiri. kenapa? aku suka saja menyentuhmu, aku suka mencium baumu, aku suka memeluk perutmu ketika tidur, karena aku suka hangatmu. mama itu hangat. mama pikir, kira-kira sifat supel yang aku punya sekarang, itu menurun dari mana? kalau bukan dari mama.
(terakhir kali mama ke Bandung, aku juga masih melakukannya, betul? dan akan selalu kangen baumu)
aku ingat pertama kali beli beha, itu juga sama mama. dan aku ingat aku menangis (lagi) karena 'harus' pake beha. anak yang aneh sekali aku ini. entahlah. mungkin itu masalah perubahan. dan ketika aku berubah ada mama disana.
sajak pertama kali yang aku bacakan untuk natal pun, ada mama disana. waktu itu umurku berapa ma? mungkin sekitar 4 tahun, dengan baju putih renda-renda, dan ditemani lilin di tangan kiriku. waktu itu juga dibantu sama mama kan? terimakasih sudah diajarkan berani sejak kecil.
sekitar umur 10 atau 12 aku lupa, tapi selalu saja ada kesempatan buatku untuk menyanyi di depan umum. padahal waktu itu aku masih malu-malu. tapi ada mama juga disana, yang selalu kasih kesempatan untuk 'tampil'. coba kalau tidak? pasti sampai sekarang aku terus malu-malu, dan 'harta karunku' terus tersembunyi. semuanya berkat mama.
bahkan mama waktu itu tidak marah, ketika kelas 3 SD, aku bahkan sudah berani memalsukan tanda tanganmu sendiri di raporku, karena ada beberapa nilai yang merah. ah, aku takut sekali waktu itu. tapi mama juga kan, yang tidak pernah absen atau bosan, mengambil rapor ke sekolah. aku tahu di hati mama yang paling dalam, mama sayang sekali denganku. walau kadang di raporku banyak nilai merahnya.
di doa pagimu selalu ada: aku. itu yang bikin aku aman, dan selalu baik-baik walau kita jauh.
aku ingat kalau mama, kadang tak punya waktu untuk ngobrol berdua denganku. sebagai seorang penulis khotbah yang baik. mama selalu tenggelam dengan buku-buku, mesin tik, kacamata yang melorot, dan kerut-kerut di sekitar matamu. aku juga tak mengerti, mengapa aku selalu iri dengan semua kesibukanmu itu. tapi akhirnya aku tahu betapa berdedikasinya dirimu pada pekerjaanmu. dan secara tidak langsung, aku juga belajar untuk berdedikasi pada apapun yang aku lakukan sekarang.
ya! sekarang aku memutuskan untuk tinggal di Bandung. padahal kemarin-kemarin aku tahu, kita berdua sempat ribut soal itu. aku masih ingat obrolan kita di 'teras belakang' dan suaraku meninggi. karena aku merasa, aku sudah menemukan jalanku sendiri. terus terang, bukan karena aku tidak mau menemani kalian berdua. hanya saja, bukankah semangat rantau itu yang ditanamkan sejak kecil. bukankah keberanian untuk menggapai sesuatu yang justru diajarkan.
dan kalau aku tidak mau pulang. bukan karena aku tidak sayang. bukan. aku tahu mama kangen dengan anak bungsu, putingbeliungmu ini, tapi biarkanlah aku berkarya. jerih 'penulis khotbah' dengan gaji kecilmu itu tidak akan aku lupa. itu yang menghidupi aku. itu yang selalu buat aku penuh. nilai-nilai luhurmu sebagai seorang ibu, yang buat aku kuat. memikirkanmu sering membuatku menangis diam-diam, beberapa minggu terakhir ini.
jadi izinkanlah 'si bontotmu' ini di luar dan berkarya.
ma, kita bisa tetap jauh tapi saling sayang, kan?
"jadi jang mara beta, karena sampai kapanpun mama tetap jadi beta pung mama. seng ada yang bisa ganti. dan beta seng mau ganti. beta sayang mama"
Peluk mama.
(Awal Nov 2009)
Si "Bontot" memang selalu penuh tuntutan, dianggap selalu special padahal terkadang lebih mandiri dari si sulung. Tak boleh mengeluh, karena itulah bagian dari hidup. Namun saat si bontot bisa bersuara, mereka pikir si bontot hanya merengek....
ReplyDelete