“Suara-suara ombak di tepian pantai itu adalah pendapat Teluk Lalong tentang cinta: selalu dan selalu, tak pernah cukup tua untuk letih, tak pernah berhenti, tak pernah sudah.”
Sabtu, 21 April 2018—Buku puisi “Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai” diluncurkan dari tepian pantai Teluk Lalong, Luwuk. Buku ini berisi sembilan puluh delapan (98) puisi yang biasa tentang cinta dan mencintai yang adalah perkara sehari-hari. Cinta memang tak selalu berisi ledakan-ledakan gairah dan perasaan. “Cinta dan mencintai,” seperti kata Theoresia, “pada akhirnya adalah sebuah kegiatan repetitif yang rentan dirundung kebosanan, —dan di situlah, cinta yang sebenar-benarnya diuji.”
Neni Muhidin, penulis dan pustakawan “Nemu Buku”, memulai acara peluncuran buku ini dengan mengatakan, “Saya kehabisan kata-kata.” Ia mengajak kami bercakap-cakap tentang proses (tidak) kreatif buku ini sambil sesekali memetik bagian-bagian tertentu dari puisi-puisi kami dan membacanya. Ama Achmad, inisiator Festival Sastra Banggai, menamai peluncuran buku “Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai” sebagai “perayaan kecil”. Ia juga membaca satu puisi dari buku itu kepada kawan-kawan yang hadir. “Sore yang mesra,” kata Dewi Anggrainy.
Menulis puisi dan membacakannya, menerbitkan buku dan merayakannya adalah cara-cara (tidak kreatif) untuk mencintai kampung-kampung, kota-kota, teluk-teluk, pulau-pulau, manusia-manusia, dan alam semesta —semuanya dilakukan berulang-ulang kali. Membawa buku "Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai" ke Teluk Lalong dan berbagi tentang puisi kepada adik-adik yang masih SMA, kawan-kawan mahasiswa, bahkan ibu-ibu di kelas adalah cara kami mencintai Festival Sastra Banggai (FSB). Semoga pada tahun 2019 mendatang, FSB lebih semarak lagi.
Enam hari di Luwuk adalah pengalaman yang istimewa. Sebuah pengalaman yang mengubah. Peristiwa demi peristiwa memungkinkan kami mengalami sendiri bagaimana sastra melumerkan batas-batas, melebarkan horizon-horizon, dan merapat-hangatkan semua keunikan manusia. Kami mengalami di dalamnya, “suara-suara yang memeluk” itu. Festival Sastra Banggai, bagi kami, adalah sebuah pelukan.
Terima kasih telah menjadikan kami bagian dari pengalaman yang tak tergantikan itu. Semoga kehadiran kami juga memberi sesuatu yang baik, meski kecil dan biasa. Kepada Ama Achmad, Yanti Malale, Madam Niank, Ali Sofyan, Getsy, Dina, Deni, Kiki, Yudi, Farid, Dewi, Alam, Ipal, Rahmat, Edy, dan semua kawan-kawan panitia dan relawan yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu, terima kasih banyak (peluk satu-satu).
Kepada “kakak-kakak” dari Paguyuban Kolam Renang (Irfan Ramli, Aan Mansyur, Joko Pinurbo, Caroline Monteiro, Windy Ariestanty, Chandra Malik, Mario F. Lawi, Faisal Oddang, Melanie Subono, Shinta Febriany, Arman Dewarti, Jamil Massa, Fitria Sari, Robby Navicula, Angelina Enny), terima kasih untuk percakapan-percakapan yang menyegarkan bak berenang tengah malam. Semoga semuanya sehat dan semangat. Sampai berjumpa lagi!
sayang selalu,
theo & weslly
sayang selalu,
theo & weslly
No comments:
Post a Comment