Sunday, April 8, 2018

Membaca Cyntha Hariadi, Barangkali












Kemarin, saya pergi ke Kineruku, untuk menghadiri acara bincang buku, yang menghadirkan Cyntha Hariadi. Pada minggu-minggu sebelumnya, saya telah lebih dulu membaca Manifesto Flora. Cerita-cerita pendek yang ditulis oleh Cyntha, dan berkenalan dengan tokoh-tokohnya, dimulai dari Grata, Ny. Liem, Flora, Tuan dan Nyonya di jalan Abadi, Kliwon, dan banyak sekali tokoh-tokohnya yang lain. Saya tak hanya berkenalan, saya menyisip di sela-sela kesibukan tokoh-tokoh tadi bercerita, dan mendengarkan percakapan-percakapan mereka. Yang intens dan memantul-memantul di kepala saya. Kepala saya seperti kaleng yang berdengung. Meninggalkan keributan-keributan di sana. Dengan sebuah rasa terganggu—yang lain di hati saya.

Saya dan juga teman-teman yang lain berada acara bincang buku tersebut, dan mendengarkan Cyntha berbicara dengan bukunya ditemani oleh Mikael Johani dan Ariani Darmawan. Betul, Cyntha memang sangat sederhana, ia tidak menonjol, persis seperti tokoh-tokohnya di cerita pendek. Namun ada kelugasan dalam dirinya. Saya mendapati seorang perempuan yang menulis karena ia tak bisa mengenyahkan hal-hal kecil, yang barangkali untuk sebagian orang itu sesuatu yang menjijikan dan berjarak, tapi bagi Cyntha, itu adalah hal-hal yang sangat manusiawi. Cyntha tidak berusaha terlalu keras untuk mencari sesuatu di luar dirinya untuk ditulis. Hal lainnya, Cyntha tidak takut untuk dengan jebakan menulis adalah untuk menyenangkan orang lain. Mikael Johani pun berpendapat, “Barangkali salah satu kekuatan Cyntha dalam tulisannya adalah mengungkapkan sesuatu yang manusiawi.”

Cyntha sendiri mengaku bahwa ia cukup membuat jarak dengan tokoh-tokoh yang ada di cerita pendeknya. Sehingga ia lebih leluasa untuk menuliskan dengan cuek kalimat-kalimat seperti ini, “Norman yang remuk di jalan tol tanpa ada sisanya buat Siska” pada Cerita Dua Perempuan di Satu  Rumah. Atau kalimat-kalimat lain yang mestinya sedih, tapi berhasil ditulis Cyntha dengan tidak melebih-lebihkan. Seakan-akan, ya, itu tadi, kesedihan adalah suatu hal yang manusiawi, ia ada, namun ia akan lewat begitu saja.

Bagi saya, cerita pendek Cyntha, merupakan sebuah kabar kejut bagi dunia literasi Indonesia saat ini. Tema dari cerita-cerita yang ia tulis tidak bombastis, seperti tema kebanyakan, namun justru disitulah daya tariknya. Setelah habis membaca Manifesto Flora, saya menulis begini di Instagram, “Saya menemukan kalimat-kalimat getir. Cerita satu ke cerita yang lain, seperti menyimpan awan hitam berhari-hari di mata, menggantung, beku, dan tak kunjung luruh. Ketika masuk ke dalam sebuah cerita, beberapa kali saya nyaris mengembuskan nafas, menunggu, baru melanjutkan lagi. Ada rasa lega yang aneh—yang muncul ketika selesai membaca sebuah cerita. Namun ia hanya sebuah kelegaan yang pura-pura. Karena siap-siap, sebentar lagi, cerita lain akan menghantuimu.”

Lain halnya ketika saya membaca Ibu Mendulang Anak Berlari, buku puisi Cyntha. Saya menemukan sebuah ketegangan, kekompleksan, kerapuhan, seseorang sebagai Ibu. Rasanya lain lagi ketika membacanya. Namun dengn puisi-puisinya, Cyntha sama sekali tidak berjarak. Ia terasa begitu dekat. Ya, seperti ibumu di rumah.


No comments:

Post a Comment

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...