Kemarin,
saya pergi ke Kineruku, untuk menghadiri acara bincang buku, yang menghadirkan
Cyntha Hariadi. Pada minggu-minggu sebelumnya, saya telah lebih dulu membaca
Manifesto Flora. Cerita-cerita pendek yang ditulis oleh Cyntha, dan berkenalan
dengan tokoh-tokohnya, dimulai dari Grata, Ny. Liem, Flora, Tuan dan Nyonya di
jalan Abadi, Kliwon, dan banyak sekali tokoh-tokohnya yang lain. Saya tak hanya
berkenalan, saya menyisip di sela-sela kesibukan tokoh-tokoh tadi bercerita,
dan mendengarkan percakapan-percakapan mereka. Yang intens dan
memantul-memantul di kepala saya. Kepala saya seperti kaleng yang berdengung.
Meninggalkan keributan-keributan di sana. Dengan sebuah rasa terganggu—yang lain
di hati saya.
Saya
dan juga teman-teman yang lain berada acara bincang buku tersebut, dan
mendengarkan Cyntha berbicara dengan bukunya ditemani oleh Mikael Johani dan
Ariani Darmawan. Betul, Cyntha memang sangat sederhana, ia tidak menonjol,
persis seperti tokoh-tokohnya di cerita pendek. Namun ada kelugasan dalam dirinya.
Saya mendapati seorang perempuan yang menulis karena ia tak bisa mengenyahkan hal-hal
kecil, yang barangkali untuk sebagian orang itu sesuatu yang menjijikan dan
berjarak, tapi bagi Cyntha, itu adalah hal-hal yang sangat manusiawi. Cyntha
tidak berusaha terlalu keras untuk mencari sesuatu di luar dirinya untuk
ditulis. Hal lainnya, Cyntha tidak takut untuk dengan jebakan menulis adalah
untuk menyenangkan orang lain. Mikael Johani pun berpendapat, “Barangkali salah
satu kekuatan Cyntha dalam tulisannya adalah mengungkapkan sesuatu yang
manusiawi.”
Cyntha
sendiri mengaku bahwa ia cukup membuat jarak dengan tokoh-tokoh yang ada di
cerita pendeknya. Sehingga ia lebih leluasa untuk menuliskan dengan cuek
kalimat-kalimat seperti ini, “Norman yang remuk di jalan tol tanpa ada sisanya
buat Siska” pada Cerita Dua Perempuan di Satu
Rumah. Atau kalimat-kalimat lain yang mestinya sedih, tapi berhasil
ditulis Cyntha dengan tidak melebih-lebihkan. Seakan-akan, ya, itu tadi,
kesedihan adalah suatu hal yang manusiawi, ia ada, namun ia akan lewat begitu
saja.
Bagi
saya, cerita pendek Cyntha, merupakan sebuah kabar kejut bagi dunia literasi
Indonesia saat ini. Tema dari cerita-cerita yang ia tulis tidak bombastis, seperti
tema kebanyakan, namun justru disitulah daya tariknya. Setelah habis membaca Manifesto
Flora, saya menulis begini di Instagram,
“Saya menemukan kalimat-kalimat getir. Cerita satu ke cerita yang lain, seperti
menyimpan awan hitam berhari-hari di mata, menggantung, beku, dan tak kunjung
luruh. Ketika masuk ke dalam sebuah cerita, beberapa kali saya nyaris
mengembuskan nafas, menunggu, baru melanjutkan lagi. Ada rasa lega yang
aneh—yang muncul ketika selesai membaca sebuah cerita. Namun ia hanya sebuah
kelegaan yang pura-pura. Karena siap-siap, sebentar lagi, cerita lain akan
menghantuimu.”
Lain
halnya ketika saya membaca Ibu Mendulang Anak Berlari, buku puisi Cyntha. Saya
menemukan sebuah ketegangan, kekompleksan, kerapuhan, seseorang sebagai Ibu.
Rasanya lain lagi ketika membacanya. Namun dengn puisi-puisinya, Cyntha sama
sekali tidak berjarak. Ia terasa begitu dekat. Ya, seperti ibumu di rumah.
No comments:
Post a Comment