Sentuhan cinta, menurut Plato, mampu mengubah siapa pun
menjadi penyair. Di dalam buku The Art of Love Poetry, Erik Gray menulis bahwa,
“Tetapi puisi letaknya di antara prosa dan musik dan menggabungkan keuntungan
dari keduanya. Puisi menambah dimensi fisik ke dalam prosa, dan pemanfaatan kenikmatan
fisik bahasa yang luar biasa: sensualitas irama; penyatuan rima yang memuaskan;
kesenangan-kesenangan lebih
yang diterima hanya dengan mendengarkan artikulasi kata-kata. Semua
elemen ini mungkin hadir di prosa, tetapi semuanya berpusat pada puisi. Karena
puisi dapat mengemukakan bentuk-bentuk komunikasi intim yang melampaui
batas-batas bahasa sehari-hari.”
Kalimat-kalimat
ini barangkali menjelaskan apa yang dikatakan oleh Plato bahwa jika seseorang
jatuh cinta, maka ia lantas didorong oleh kebutuhan untuk mengekspresikan rasa yang terlampau besar
dan beraneka warna melalui penciptaan kata-kata
yang melampaui batas-batas bahasa biasa—namun yang sifatnya sangat intim—yang hanya mungkin disediakan oleh puisi.
Sementara itu, Rolland Barthes menulis dalam An Erotics of Art
(Sebuah artikel yang telah diterjemahkan ulang dan diterbitkan di The New York
Times) bahwa, “Menulis adalah sebuah ilmu pengetahuan tentang asmara
(Kama Sutra), sementara membaca adalah sebuah atensi psikoanalisis yang
mengambang, rebah, dan menanti untuk kembali dirangsang oleh kata-kata
berikutnya.”
Sampai di
sini, maka pertanyaan saya untuk diri saya sendiri adalah berapa banyak ‘teks’
yang telah saya baca dari buku-buku puisi, prosa, maupun novel, yang mampu
membuat saya memasuki pengalaman-pengalaman
orgasmik?
Daftar
buku-buku secara acak mulai bermunculan di dalam kepala saya, buku-buku yang
saya baca sedari kanak-kanak, remaja, hingga masa dewasa. Tidak hanya buku,
tetapi ingatan saya merayap kepada tulisan pada sebuah majalah Femina, koleksi
tante saya. Saya yang remaja pada waktu itu, diam-diam tidak pernah absen
membacanya. Saya sendiri tidak ingat sejak kapan rasa asyik dari membaca tumbuh
di dalam diri saya. Tapi seingat saya, segala sesuatu tentang keasyikan membaca
biasanya diawali oleh rasa penasaran.
Bacaan
‘diam-diam’ saya yang lain, kemudian berpindah kepada sobekan kertas-kertas
yang biasanya saya temukan di bawah bantal. Sobekan kertas-kertas (kepunyaan
salah satu asisten rumah tangga yang bekerja di rumah tante saya) itu berasal
dari buku-buku stensilan populer pada waktu itu. Ia senang membacanya dan
meletakkannya di bawah bantal. Saya dengan tidak sengaja, lalu menemukannya.
Keasyikan
membaca ini kemudian berkembang seiring pertumbuhan saya. Buku-buku lainnya
dari mulai komik-komik, cerita hantu, novel-novel wajib di perpustakaan,
buku-buku motivasi, buku cerita pendek, buku-buku puisi, hingga buku-buku yang
saya putuskan secara sadar untuk membelinya karena memang ingin dibaca. Dari
semua, buku-buku yang saya paling suka, biasanya saya baca ulang—lebih dari dua
kali. Saya senang mengulang kalimat-kalimat yang bukan hanya suka, namun saya
gilai. Kalimat-kalimat itu tak lagi membuat rasa penasaran di dalam kepala, ia
menghasrati saya sedemikian rupa, sehingga ada sebuah gambar bergerak yang ada
di kepala saya.
Lebih lanjut
Barthes menulis bahwa, jika tulisanmu (teks) ingin dibaca, baiknya menyelipkan
sedikit kegairahan, dan menggunakan kata-kata yang sedikit genit. Namun genit
saja tidak cukup, sebuah tulisan yang baik pun dikelilingi oleh hal-hal berikut
ini: struktur ideologi yang tepat, solidaritas intelektual, penggunaan idiom
yang layak, bahkan tidak mengabaikan kesakralan sebuah sintaksis.
*
Sebagaimana kitab Kidung Agung yang disinggung Erik
Gray dalam bukunya“The Art of Love Poetry”, cinta
yang terungkapkan secara berbalas-balasan pun adalah tema dari buku “Cara-cara
Tidak Kreatif untuk
Mencintai.”
Tidak dapat
dipungkiri bahwa sepasang kekasih yang mencintai kemudian mencipta puisi-puisi,
karena ada sebuah perasaan—yang tidak dapat diekspresikan oleh bentuk-bentuk lain dari bahasa, selain puisi
yang mampu melampaui batas perasaan manusia paling banal untuk dapat dimengerti satu dengan yang lain. Puisi, diakui, adalah medium yang
tepat itu.
Sifat puisi
yang intim jualah yang kemudian memberikan keleluasan ekspresi. Tak ada sebuah
keterpaksaan, tak ada kehati-hatian yang terlalu, tak ada hitungan-hitungan
matematika ketika menulis, semuanya mengucur begitu saja bagai keran bocor.
Kealamian sebuah perasaan di dalamnya adalah sebuah hal yang paling dirayakan.
Berbeda dengan Weslly, yang senang membongkar pasang puisi-puisinya, saya punya cara
sendiri dalam menulis puisi-puisi saya. “One
take writing”, sekali
menulis jadi, begitu istilah yang saya pakai untuk menulis puisi-puisi saya,
tanpa penyuntingan yang berlebihan. Kenapa? Karena saya percaya pada keleluasaan itu sendiri. Saya
tidak mau ‘terpenjara’ dalam hal-hal yang berhubungan dengan teknik menulis.
Alih-alih memikirkan sebuah tulisan yang membuat orgasme, saya lebih tertarik
untuk memindahkan “rasa orgasme” tadi—tanpa tedeng aling-aling ke dalam tulisan
saya.
Sebuah
kesadaran baru kemudian muncul di dalam cara menulis: tulisan-tulisan jujur
malah lekas membuat orgasme. Selain
itu, tema
cinta yang tadinya hanya dikonsentrasikan kepada laki-laki dan perempuan,
kemudian menjadi sebuah cinta yang luas. Analogi “ciuman” yang berkali-kali
dipakai di dalam buku ini, tak lagi ditujukan sebagai ciuman yang harafiah,
melainkan ciuman yang dirapalkan oleh bibirmu, ketika membaca puisi-puisi yang tertulis di dalam buku-buku kami.
Puisi-puisi itu mencium
bibirmu persis saat kau membacanya;
kau mencium banyak orang saat membacanya; kau mencium bibir dunia. Tak sampai di situ, di dalam “Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai,” akan ditemukan juga bagaimana arsip-arsip pribadi
kemudian menjadi kenangan bersama yang terbagi dengan seluruh pembaca.
Tetapi tak
semua puisi ini adalah tentang cinta, satu atau dua puisi yang ditemukan di
dalamnya adalah bagian dari perayaan kesedihan bahkan kematian. Puisi-puisi itu
sengaja diselipkan, supaya genap sudah apa yang dikatakan oleh Weslly Johannes,
“Cinta adalah kopi.
Kurangi gula dan omong kosong.”