gambar via google.
Lucu,
ketika suatu hari saya sedang melihat foto-foto pernikahan, dan mendapati
sebuah potret pengantin perempuan dengan tulisan SOLD OUT di bagian bawahnya.
Pertama, kesan yang ada di kepala saya ketika memperhatikan potret itu adalah
perempuan itu seperti barang yang yang sudah laku di toko atau web online.
Biasanya ketika barang yang dipajang sudah laku, akan ada tulisan SOLD OUT di
bagian bawahnya. Kedua, kira-kira apa yang ada di dalam benak perempuan itu,
barangkali saja benar, ia setuju melakukannya karena ia merasa dirinya—sejenis
'barang jualan' yang telah laku dijual kepada seorang pemilik. Dan ketiga, jika
itu adalah strategi pemasaran fotografer; maka konsep perempuan di situ, jelas
disamakan dengan barang jualan. Suatu kenyataan yang menyedihkan.
Dalam Second Sex, Simone de Beauvoir menulis begini, "Sejak zaman primitif hingga sekarang, persetubuhan sudah dianggap sebagai 'pelayanan' di mana sebagai tanda terima kasih, laki-laki memberi perempuan berbagai hadiah untuk menjamin kelangsungan hidupnya; tetapi 'melayani' berarti memberikan dirinya kepada seorang 'majikan'; tidak ada kesetaraan dalam hubungan ini. Sifat perkawinan itu sendiri, seperti halnya prostitusi, merupakan bukti bahwa perempuan memberikan dirinya, laki-laki membayarnya, lalu mengambilnya."
Maka sebuah penaklukan terjadi di sini. Kata SOLD OUT yang terpampang di dalam potret tersebut, dengan seorang pengantin perempuan yang mengembangkan senyum lebar di wajahnya adalah sebuah isyarat kebanggaan bahwa ia kini telah laku terjual kepada pemiliknya. Yang lebih mengenaskan lagi bahwa potret pengantin perempuan seperti itu dijumpai di dalam kultur masyarakat yang beradab—yang di dalam asumsi saya adalah mereka yang berpendidikan tinggi. Dan menurut saya lagi, sampai kapanpun perempuan bukan barang dagangan yang ditempelkan rupiahnya; ia tidak melelang dirinya untuk bertemu dengan pemilik yang akan membawa pulang dirinya, selamanya ia berhak untuk memiliki dirinya; utuh.
Dalam Second Sex, Simone de Beauvoir menulis begini, "Sejak zaman primitif hingga sekarang, persetubuhan sudah dianggap sebagai 'pelayanan' di mana sebagai tanda terima kasih, laki-laki memberi perempuan berbagai hadiah untuk menjamin kelangsungan hidupnya; tetapi 'melayani' berarti memberikan dirinya kepada seorang 'majikan'; tidak ada kesetaraan dalam hubungan ini. Sifat perkawinan itu sendiri, seperti halnya prostitusi, merupakan bukti bahwa perempuan memberikan dirinya, laki-laki membayarnya, lalu mengambilnya."
Maka sebuah penaklukan terjadi di sini. Kata SOLD OUT yang terpampang di dalam potret tersebut, dengan seorang pengantin perempuan yang mengembangkan senyum lebar di wajahnya adalah sebuah isyarat kebanggaan bahwa ia kini telah laku terjual kepada pemiliknya. Yang lebih mengenaskan lagi bahwa potret pengantin perempuan seperti itu dijumpai di dalam kultur masyarakat yang beradab—yang di dalam asumsi saya adalah mereka yang berpendidikan tinggi. Dan menurut saya lagi, sampai kapanpun perempuan bukan barang dagangan yang ditempelkan rupiahnya; ia tidak melelang dirinya untuk bertemu dengan pemilik yang akan membawa pulang dirinya, selamanya ia berhak untuk memiliki dirinya; utuh.
No comments:
Post a Comment