Ada sebuah
cerita yang saya temukan, intinya tulisan tersebut menceritakan tentang seorang
perempuan yang membuat sebuah akun anonimus agar ia dapat berinteraksi dengan ‘apa
adanya’ kepada orang lain yang juga ada di dalam lingkaran media sosial itu, alasan
perempuan itu sederhana saja, jika ia menggunakan identitas aslinya dalam
berinteraksi, maka ia takut mendapat respon yang tidak ia harapkan yaitu:
diadili. Karena pada dunia nyata, perempuan ini dikenal sebagai perempuan yang
cukup relijius—paling tidak dari atribut yang ia pakai dan ini juga diceritakan
dalam tulisan itu. Dan komunikasi yang terjadi antara perempuan anonimus ini
adalah hal-hal yang bersifat vulgar yang sekali lagi tidak dapat ia lakukan
dengan menunjukkan identitas aslinya.
Kemudian
muncul pertanyaan, apakah kamu pernah menjadi seorang anonimus dalam
menggunakan media sosial? Atau apakah kamu pernah membuat akun anonimus dengan—tentu
saja menggunakan identitas palsu untuk kepentigan pribadi misalnya, menyelidiki
suami yang selingkuh. Cerita lainnya yang saya temukan yaitu seorang ibu rumah
tangga yang membuat akun anonimus untuk menciduk suaminya sendiri yang tukang main
perempuan.
Pertanyaan
lainnya adalah apakah kamu pernah membuat akun anonimus untuk menjawab
pertanyaan atau membela sebuah pernyataan yang dianggap benar—apalagi ini
bertujuan untuk sebuah kepentingan kampanye politik. Akun anonimus ini diperlukan
untuk melerai sebuah jawaban, pro atau kontra terhadap sebuah wacana, menghajar
seseorang yang tidak disukai karena jawaban yang berkembang pada sebuah laman
diskusi, atau kepentingan yang paling relevan saat ini adalah, mengadudomba
satu dengan yang lainnya.
Seiring
dengan perkembangan media sosial dan hestek berani yang kemudian merajalela
seperti #showyourcleavage atau #freeyournipple maka pertanyaan selanjutnya
adalah apakah kamu pernah membuat akun anonimus untuk meramaikan hestek tadi?
Karena cara untuk meramaikan hestek ini adalah dengan mengunggah sebuah foto belahan
dada atau puting susu tanpa kelihatan wajah yang membutuhkan tekad yang besar.
Menjadi anonimus membuat orang-orang lebih berani.
Beberapa
skandal percakapan seks pribadi yang dilakukan oleh para tokoh agama juga terkuak
oleh anonimus. Tentu saja pelaku anonimus di sini adalah mereka yang memiliki
kepentingan terkait untuk mengungkap skandal tersebut.
Menjadi
anonimus adalah sebuah kegemaran baru. Media sosial kemudian berkembang menjadi
sebuah media di mana setiap orang dapat menjadi sesuatu di luar dirinya asalkan
ia tetap anonimus. Setiap orang dapat melakukan sesuatu di luar dirinya asalkan
ia tetap anonimus. Setiap orang lebih berani mengunggah apa saja asalkan ia
tetap anonimus. Setiap orang dapat mengungkap kebenaran asalkan ia tetap
anonimus.
Menurut
sebuah penelitian yang ditulis di dalam We Are Anonymous-Anonimity in the public sphere, ada beberapa keuntungan dengan menjadi anonimus ketika berkomunikasi
1) mendorong kebebasan berekspresi, kemampuan untuk menyuarakan pendapat yang
berbeda atau gagasan yang tidak populer dan oleh karena itu dapat dianggap
sebagai landasan demokrasi 2) memfasilitasi arus komunikasi mengenai isu publik
tanpa membunuh si pembawa pesan 3) untuk mendapatkan informasi sensitif,
misalnya dalam penelitian atau isu pribadi yang sensitif 4) anonimitas mendorong budaya berbagi
gagasan, ada lebih banyak kejujuran dalam proses tanya jawab, misalnya dalam
proses evaluasi di tempat kerja atau di kelas.
Sebuah
cerita lainnya tentang seorang perempuan pernah mengaku mengungah foto vaginanya
yang baru selesai di waxing, berikut
dengan sedikit testimoni mengenai kepuasaannya menggunakan layanan salon yang
melayaninya. Perempuan itu mengaku ia melakukannya untuk mendapatkan sebuah kepuasan
tertentu, merasa lebih bebas, merasa lebih jujur.
Namun
ada sebuah pengertian lainnya tentang menjadi anonimus—yaitu sebuah keberjarakan
dengan diri sendiri: atau dapat dikatakan sebagai sebuah ketakutan untuk
menampilkan sebuah kejujuran yang berasal dari diri karena takut diadili oleh
masyarakat. Melainkan juga dapat dikatakan bahwa menjadi anonimus adalah sebuah
tempat persembunyian—sebuah benteng yang dibangun cukup tinggi untuk melindungi
diri sendiri dari sebuah kebenaran.
Sebuah cerita
menarik yang saya temukan dalam kasus menjadi anonimus, yaitu seorang pria gay
yang kemudian bersembunyi di balik topeng “tokoh agama” dan “pernikahan” hanya
karena pria ini tidak dapat menceritakan tentang dirinya yang sebenarnya.
Barangkali pria ini juga tetap memilih menjadi anonimus di dalam berkomunikasi
dengan kawan-kawan di komunitas gay-nya karena ia terlanjur ‘normal’ di
kehidupan nyatanya.
Sebuah
paradoks di dalam kehidupan.
No comments:
Post a Comment