Dilale.
Kau
adalah pulau-pulau, dan kampung-kampung perawan, dimana ketulusan masih menyapa
di jalan-jalan.
Ketika menulis ini, langit di
kota ini sedang biru-birunya. Belum pernah aku melihat langit begitu mengkilat.
Terkadang ada lengkung senyummu di sana. Ia tipis dan segar. Merekah seperti
bunga-bunga bougenville di halaman.
Jika ada yang tersembunyi: itu
adalah kekhawatiran-kekhawatiran. Mereka seperti tentara kesepian. Hinggap pada
barak-barak peperangan. Apakah yang kita perangi? Kataku sambil menorehkan
jariku di langit biru mengkilat tadi. Kali ini jariku membentuk lengkungan ke
bawah. Tanpa sadar akupun membentuk titik-titik di sampingnya seperti hujan.
Hujan kini muram. Tidak lagi
berdansa. Tidak lagi menjadi kegemaran. Kesukaan menunggu di jendela pun
lenyap.
Cinta,
Dilale.
Soal
Cinta, bagaimana kekhawatiran bisa begitu berkuasa atasnya. Bukankah di dalam
cinta tidak ada kekhawatiran, tidak ada ketakutan.
Karena ketika kekhawatiran itu
datang, mereka bagai rayap, akan melahap kecantikan, kedalaman yang kau
milikki, Dilale. Membuat buram mata, dan caramu memandang hidup, serta
keyakinan-keyakinan, ah, mengenai keyakinan, aku ingat satu hal tentang
percakapan kita pada suatu subuh ketika aku bertanya, dari manakah asal
keyakinan? kau menjawab “soal itu, letaknya di dalam. Jangan mencarinya di
luar.” Aku sepakat. Tidak ada keyakinan yang asalnya dari luar.
Seperti
langit biru mengkilat, di hari ini, Dilale.
Ia tidak perlu membuktikan
kepada orang lain, tentang warnanya yang cerlang. Biru yang terbit adalah
jiwanya. Biru yang terbit adalah jiwamu. Jika suatu saat ia menjadi mendung dan
muram, siapa yang berani mengatakan bahwa di alam biru tidak ada abu-abu.
Kalaupun abu-abu memakan yang
biru hingga habis dan keriput:
aku tetap
menyayangimu.
Kay Eli.
Suka kata kata
ReplyDelete"soal itu, letaknya di dalam. Jangan mencarinya di luar.”
Aku setuju. Itulah keyakinan
Tidak ada keyakinan yang asalnya dari luar.
ReplyDeletetapi tetap ada pengaruh dari luar, sebelumnya