Pagi ini ketika menyikat gigi,
saya tiba-tiba teringat pada malam itu—perpisahan kita. Tulang-tulang ikan di
atas meja, senyuman, debar jantung tidak karuan, dan mata-mata yang menunduk—tidak
berani atau tidak mau memandang satu dengan yang lain.
Saya sempat mencuri-curi, melihat mata kamu,
dan guratan-guratan halus di sekitarnya, tetapi tidak berani melihat lebih
dalam, karena kedalaman butuh tinggal—lebih lama. Bukan malah pergi. Bukan
malah berpisah. Tapi pada malam itu saya harus pergi, saya harus meninggalkan
kedalaman yang tidak sempat saya gali. Rasanya gelisah juga malam itu, ketika
harus meninggalkanmu. Diam-diam saya telah menaruh hati pada mata itu.
Sudah sangat lama saya tidak
melihat mata yang penuh bintang-bintang, dan berkerut-kerut seperti terbakar.
Seperti katamu bahwa asal kerutan itu dari dalam, karena matahari yang
membakar. Sayang sekali saya tidak dapat duduk lebih lama untuk menikmati
tentang kedalaman: tentang hal-hal yang membakarmu. Tetapi pada akhirnya siapa tahu saya bisa mengerti. Karena
saya ingin.
Ketika saya menyikat gigi pagi
ini, saya juga teringat dengan senyuman kamu, sudah lama saya tidak melihat
senyuman yang menggebu-gebu, lalu saya melihat ke kaca, dengan mulut penuh busa
odol dan gigi yang masih belum selesai disikat. Saya mencoba senyum itu—senyum milikmu,
siapa tahu pas dengan bibir saya. Dan di sana, tepat di kaca itu ada wajah
kamu. Saya lalu mencium pipi kamu, meninggalkan sisa-sisa odol di sana, kemudian
saya bisikkan ini “semoga bahagia, ya, pagi ini” meninggalkan sisa-sisa odol juga di telinga kamu.
Kamu tertawa, tawa yang khas.
Tawa yang sudah saya kenal begitu lama. Tawa itu seperti langit, berwarna biru
muda ketika pagi, begitu lembut, dan tidak buru-buru. Saya ingin mendengarkan
tawa itu lebih lama. Makanya, pagi ini, saya menyikat gigi lebih lama.
Dee banget.. #love it
ReplyDeletesukaaaa
ReplyDelete