Malam itu saya adalah malam
yang cukup random. Maksud hati menonton Tabularasa, tetapi karena jadwalnya
telah lewat akhirnya kami (saya dan teman saya) memilih untuk menonton The
Giver. Alasan pertamanya karena kami malas menonton Anabelle yang horor. Dan di
The Giver ada Meryl Streep. Akhirnya kami memutuskan untuk menonton film itu.
The Giver dibuka dengan narasi
yang cukup memikat. Saya adalah pemerhati narasi dan setiap voice over. Mungkin
aneh, tapi bagi saya narasi awal biasanya membangun sebuah bangunan film
tersebut. Di awal itu ada Jonas yang bersepeda dengan dua orang temannya. Jonas
berkata bahwa ia tidak seperti anak-anak kebanyakan. Ia melihat sesuatu di luar
kebiasaan setiap orang.
Ternyata The Giver adalah
tentang sebuah komunitas yang akhirnya dibentuk dengan sebuah bentuk
keseragamannya. Ada rumah yang disebut family unit, jam bermain mereka dibatasi,
mereka dibagi dalam beberapa kelompok pekerjaan, cara berpakaian mereka sama,
bahkan ketika di dalam pertemuan cara menepuk tangan mereka semua sama, mereka
menggunakan bahasa-bahasa yang layak, dan tiap pagi mereka harus disuntik
supaya mereka kehilangan emosi sebagai cara untuk merasa.
Yang menarik adalah ketika
menonton film ini dari awal adalah warna filmnya yang abu-abu. Tidak ada
satupun warna yang keluar, hanya abu-abu. Jonas, tokoh laki-laki yang
digambarkan sebagai “memory receiver” di dalam film itu menghabiskan waktunya
sebagai “pelatihan” dengan The Giver, sang pemberi memori itu sendiri.
Selain itu di film ini banyak sekali dialog-dialog quotable yang memukau. Dalam hal ini saya
mungkin akan dapat banyak jika membaca langsung bukunya yang ditulis oleh Lois
Lowry.
Ada beberapa catatan yang saya
dapat ketika menonton film ini:
1. Kita tidak bisa “menghilangkan”
kenangan begitu saja, karena ternyata kenangan yang memuat kita belajar merasa.
Selain itu kenangan itu adalah bagian dari diri kita dan itu akan menentukan
seperti apa masa depan kita nantinya.
2. Untuk apa menjalani hidup jika
kita tidak bisa merasa. Ternyata bisa merasakan sesuatu itu sangat penting.
Bayangkan jika di dalam hidup kita tidak bisa merasakan cinta, maka hidup kita
tidak berwarna, melainkan hanya abu-abu.
3. Dunia ini tidak bisa
diseragamkan. Di dalam keseragaman hanya akan ada robot dan rasa bosan, karena
setiap manusia ternyata diciptakan dengan sebuah keinginan bebas. Bahwa di
dalam ketidakseragaman dan kita tidak hanya merasakan hal-hal yang senang—melainkan
juga sedih, sungguh membuat kita adalah manusia yang seutuhnya.
4. Ada beberapa adegan yang
mungkin tidak masuk akal. Yah, namanya juga film Hollywood. Sudahlah terima
saja. Fokus saja sama sinematografi dan dialog-dialog di dalam film ini. Everything is connected.
Everything is balance. Where there is good, there is bad. Lihatlah bahwa segala
sesuatu terjadi untuk menyeimbangkan kita. Bertahan!
5. Bagian yang saya paling suka
adalah ketika Jonas meliha warna rambut Fiona yang berubah menjadi merah atau
ketika ia melihat sinar matahari yang keluar dari sulur-sulur pepohonan.
Seperti itulah cinta. Ketika kita bisa merasakan dan melihat segala sesuatu di
sekitar kita selalu berwarna. Karena dengan begitu kita bisa merasa.
If
you can't feel, what's the point?
Selamat menonton!
Dan akhirnya abu-abu menjadi inspirasi untuk puisi hari kedua.
ReplyDelete#30HariMenulisPuisi
#MenulisPuisiItuSeksi
Bukunya bagus lho kak. Aku suka sekali.
ReplyDeletesaya juga suka the giver,,, menarik |
ReplyDeleterumah adat demokrasi indonesia
Genre film seperti The Giver, The Maze Runner, dan The Hunger Games banyak menggungah imajinasi dan kita dituntut untuk berpikir jika kita hidup di dunia yang berbeda. Pelajaran hidup juga suka didapat, quotenya juga suka banyak banget, saya suka!! Izin catat ya mbak perempuan sore!! hehe
ReplyDelete