Definisi sukses hari ini
adalah: apa yang dipamer di sosial media. Banyak foto jalan-jalan ke luar
negeri yang diunggah. Makan di tempat-tempat yang fancy. Pergi menonton konser
mahal lalu fotonya diunggah. Ada di crowd orang-orang terkenal dan merasa bangga.
Foto selfie melulu bersama pasangan, karena merasa dirimu “laku”, “tidak
sendiri”, dan “berharga”.
Dan definisi bahagia hari ini
adalah: apa yang dipamer di sosial media. Ketika berfoto bersama teman-teman
segerombolan dengan wajah tertawa, seakan-akan kita adalah orang yang paling
bahagia, bebas masalah, bebas beban. Atau foto makanan enak dan mahal yang kita
unggah. Atau foto anak-anak kita, yang detik demi detik, setiap perkembangannya
harus difoto, lalu kita bagi di media sosial.
Lagi-lagi apa yang kita bagi di
sosial media kemudian menjadi sebuah tolak ukur, bagi orang lain, atau bagi
diri kita sendiri bahwa “paling tidak hidup gue lebih menyenangkan dari
hidupnya si anu.” Atau apapun yang kita lakukan di sosial media, adalah supaya
mendapat komentar yang bunyinya “Gila! Enak banget ya hidup lo!”
Lebih dangkal lagi adalah
ketika definisi sukses dan bahagia hari ini adalah: ketika apa yang sudah kita
pamer di sosial media mendapat jumlah like atau love yang banyak.
Tidak hanya dangkal tetapi juga bodoh.
Sampai di sini, mungkin ada
yang protes, dan bilang saya sok tahu dengan semua penggambaran di atas.
Terserah saja. Ini memang adalah semata-mata pendapat pribadi saya. Dan jika
kamu mau punya pendapat lain atas apa ang terjadi juga tidak apa-apa.
Jika salah satu kebutuhan
manusia adalah ingin diterima, dan dihargai, maka beramai-ramailah mempunyai sosial media yang banyak, lalu ciptakan tokoh, ciptakan drama, lalu mainkan
sesuka hatimu, dan jadilah tuhan.
Mungkin kamu akan bahagia, dibilang sukses, tapi sejujurnya itu hanya seperti permainan monopoli. Kamu memiliki
banyak uang, kamu kaya, tetapi hanya di dalam permainan monopoli.
Fana!
Setuju banget sama Kak Theo! Kadang-kadang suka sebel kalo lagi makan bareng sama beberapa orang, saya gak boleh makan dulu sebelum ada yang foto makanannya. Atau gak pas liburan rame-rame, ada yg sibuk update dan upload sana sini dan nyari sinyal. Dan cukup banyak yg menyuruh saya love atau like foto dan status mereka (seolah-olah penting banget). Pernah kepikiran sih buat deactivated beberapa socmed. Hahaha
ReplyDeleteSaya setuju. Lebih baik, sosial media dipakai untuk bagi-bagi karya. Dari sana, orang tahu bahwa kita benar-benar berjuang untuk mempublikasikan karya tersebut, hingga dikonsumsi oleh orang tanpa embel2 'monopoli'. :)
ReplyDeleteSaya suka selca si ^^ soalnya saya suka muka saya ^^ itu aja sih hehehe
ReplyDeleteSaya sangat setuju dengan isi artikel kakak ini. Saya pun, termasuk orang di dalamnya. Mengupload setiap foto dalam segala pertemuan dengan teman, mengupload foto makanan apa saja yang telah di cicipi, dan berbagi status lainnya. Lewat artikel ini, saya kembali berpikir dan introspeksi diri.
ReplyDeleteSaya senyum-senyum pas baca ini. Tidak salah dan tidak sepenuhnya benar. Saya merasa social media adalah proses saya untuk self-branding, untuk mendatangkan pundi-pundi rupiah atau mendatangkan kesempatan-kesempatan yang akan membuat hidup lebih baik.
ReplyDeleteTerima kasih untuk tulisan ini, saya kembali merenung.
Haha.. lama ngga mampir. Yup, kayaknya hidup makin aneh aja. Jadi pengen lepas gadget kalau fungsinya hanya buat kepentingan begitu. Untungnya saya ngga beli handphone buat kepentingan adu narsis. :))
ReplyDeletedalem :)
ReplyDeleteseperti yang saya lihat di sekitar saya.
Hmm.. Semakin lama air di dalam otak semakin kering, jadinya dangkal. :))
ReplyDeleteBahkan, banyak orang yang--seperti definisimu tentang bahagia--hari ini, mengolok yang lain, karena dianggap tidak punya "apa-apa" di sosial media. :))
setuju sekali kak. wahh, mereka terjebak dgn sudut pandang & kebiasaan yg salah :)
ReplyDeletesuka banget sama tulisan ini....
ReplyDeletemakjleb.... sakitnya tuh di monopoli :)
ReplyDeleteIkut merenungkan..
ReplyDeleteIkut merenungkan..
ReplyDelete