Seharian ini kuhabiskan
waktu untuk duduk dan melamun di pekarangan. Tidak begitu sunyi, sebab aku
masih menunggu. Aku pikir duduk dan menunggu saja itu terkadang baik. Aku dapat
memperhatikan sekelilingku dengan bijaksana. Seekor kucing tua dengan muka luka
bekas tersiram air panas mengendap mendekatiku. Dengan hati-hati ia meneliti
diriku yang sedang duduk termangu, “Menunggu siapa?” ia bertanya. “Aku
menunggu sebongkah awan yang lewat,” jawabku. “Awan sedang berlibur. Tidak ada
awan hari ini. Kau lihat, langit begitu pucat,” tandasnya sambil menelungkupkan
kedua kaki depannya rebah di tanah.
Aku menengadah dan
meneliti langit. Langit begitu pucat, bagaikan tidak makan beberapa hari. Dan
memang betul, tidak terlihat awan sama sekali. Warna kelabu gusar diam di
tempat. Landasan besar di atas kepalaku hanya punya satu warna. “Aku tidak
pernah menunggu selama ini. Biasanya awan lewat setiap hari, tak lupa memberi
kabar dalam berbagai bentuk. Kadang menyerupai segerombolan anak anjing, kereta
kuda, anak kecil dengan balon, burung merak besar, atau wajah yesus. Awan
seperti berkata-kata lewat berbagai bentuknya. Awan punya bahasanya sendiri.
Awan sedang menyampaikan sesuatu.
Beberapa hari ini aku
duduk di pekarangan, meneliti apa saja yang aku lihat dengan mataku dan menunggu.
Tak ada perubahan apa-apa. Langit masih dengan wajah yang sama. Tiga hari yang
lalu, aku duduk, dan awan menyampaikan sebuah tanda. Aku melihat begitu banyak
bunga melati kecil di langit. Sejenak aku bepikir, apa yang dirayakan oleh
langit? Apakah ada pesta? Tentu saja pertanyaanku tidak lantas dijawab oleh
langit. Keesokan harinya, aku mendengar pengumuman lewat toa masjid, berturut-turut beberapa tetanggaku dikabarkan meninggal
dunia oleh wabah. Warga setempat lantas diberi himbauan untuk lebih
berhati-hati, tidak sembarangan keluar rumah, berjarak dengan orang lain, dan
sering mencuci tangan.
Ternyata langit tidak sedang berpesta, melainkan sebuah perayaan kematian. Aku bergidik membayangkan
peristiwa kematian itu. Tidak ada satu orang pun yang diizinkan untuk mengantar
jenazah-jenazah itu ke tempat peristirahatan terakhir mereka. Sirine ambulans
terdengar di kejauhan menuju pekuburan. Di sana sudah ada tukang gali kubur
yang sigap memasukkan tubuh-tubuh kaku
ke dalam tanah. Barangkali kalau ingat, akan disertai doa singkat di dalam hati mereka.
Sejak kejadian itu, aku
jadi senang meneliti langit, menunggu awan, menantinya mengirim pesan. Aku
butuh sebuah tanda. Hidup butuh penanda. Akhir-akhir ini aku seperti kehilangan
harapan. Tidak banyak teman ngobrol. Ya, kucing tua muka jelek ini satu-satunya
temanku mengobrol. Awan belum muncul juga. Kami berdua kaget mendengar bunyi
geluduk besar sekali. Kucing tua mengeong, “Sudah kubilang, tak ada awan hari
ini. Langit mengirim hujan.” Dengan sigap kami mengangkat pantat dan kembali ke
dunia kami masing-masing. Dunia yang penuh kebingungan.
No comments:
Post a Comment