Saturday, January 25, 2020

Sebelum Keretaku Berangkat









aku tiba di stasiun itu. keretaku sudah menunggu. deretan kursi merah dan hijau berjejer. merah bukan untuk perempuan, kan? batinku sambil melangkahkan kaki menuju deretan kursi yang merah. merah selalu menggiurkan, seperti darah segar, atau sambal pakai nasi hangat dan kerupuk. merah juga berarti kehidupan, seperti datang bulan tepat waktu. tubuhmu seperti memberitahu, ia dapat menjadi ibu. sebuah rumah untuk makhluk hidup kecil. aku melirik dan melihat kursi yang hijau. aku ingat pertautan laut. antara yang dangkal menuju kedalaman. riak dan gelombang. kita pernah terhampar di antara asin, pasir, dan bebatuan kecil. hangat. haru mengalir turun melewati kelopak. daun yang tertiup angin—luruh. sebuah kecupan terakhir.

aku mengingat sebuah kresek berwarna merah yang selalu kau bawa di laci depan tas punggungmu. berisi kerang warna-warni yang biasa kau pilih dari belakang rumah. untuk mengingat hidup, katamu. “setiap manusia itu berbeda, mestinya kita lebih gila merayakan perbedaan. bukan malah memaksa menyamakan semua.” aku menyaksikan gerak bibirmu yang naik turun. kau menatapku dengan mata sebening danau. di piringku ada telur asin tinggal separuh, tumis buncis kesukaan. kulit telur asin berwarna hijau terbongkar di samping piringku. kau bertanya, “mengapa suka sekali telur asin?” aku menjawab, “karena warnanya!” kita pun terbahak.

aku kini telah duduk di satu kursi berwarna merah. kulirik ke arah deretan kursi yang hijau hanya diduduki sekitar lima orang. aku memperhatikan belakang kepala mereka dengan topi-topi berwarna coklat menutupi kepala, seperti batang korek api. aku mengeluarkan sapu tangan berwarna hijau, pemberianmu dengan inisial namaku. aku melihat diriku seperti sapu tangan itu, hijau, rapuh, seperti sesuatu yang basah dan hendak lepas. serta mengeluarkan surat kecil yang buru-buru kau sisipkan ke telapak tanganku sebelum kau berjalan menyisakan punggung:

manusia tidak mungkin berjalan tanpa kedua kaki. jika kaki yang satu luka, kaki yang satunya lagi akan menemani dengan lebih pelan. rela terseret-seret. manusia tidak mungkin melihat tanpa kedua matanya. jika sebelah matanya buta, sebelah matanya lagi akan menjadi nyala kecil, meraba-raba dalam gelap. manusia tidak mungkin pergi tanpa kedua tangan. jika satu tangannya hilang, tangan yang satu bertugas untuk menemukan. manusia yang satu dengan manusia lainnya tidak sama, namun serupa. serupa salah satu dari anggota tubuh yang kurang lebih sama. sama-sama rela menanggung kesusahan sesama, tidak peduli kanan atau kiri, kecil atau besar, gelap atau terang, pagi atau malam, bersatu atau bercerai, jalan atau berlari—berbeda, terseret-seret tapi sama-sama menanggung.

di kejauhan kudengar peluit berbunyi. keretaku berangkat.

No comments:

Post a Comment

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...