Mendengarkan
hujan selalu merupakan pengalaman paling menggetarkan. Kala ia mengintip di
jendela, menggedor atap genteng di waktu malam, menelisik di antara ujung-ujung
jari tangan yang keriput, dan berada di antara percakapan panjang tengah malam,
sambil minum kopi dan berciuman.
Ciuman
paling pahit yang pernah kuingat, tapi aku suka. Kau yang diam-diam kukagumi menjadi
sesuatu yang kubenci sekaligus kusenangi—hujan itu sendiri. Kau keramaian yang
bergulir di antara kekakuanku, basah yang sering kuingini menembus kerontangku
yang begitu rapuh, bagai tanah pecah, kau selalu kuinginkan untuk mengisi bagian-bagian
terbelah di dalam diriku.
Kau
yang diam-diam kuakui sebagai kesegaran kala penat dan kepala yang penuh, kau
tempat kutumpahkan apa saja, keresahan, kegemasan, kerapuhan, rasa sunyi,
tertolak, pun segala cerita-cerita masa laluku yang terlampau kelam. Kau dengan
segala kelihaianmu untuk melucu akan menghiburku, kau dengan segala kegesitanmu
akan melepas bajuku satu per satu, mencumbuku, menyusun kembali bagian-bagian
pecah di dalam diriku hingga utuh kembali.
Ketika
kecil—aku tidak diperbolehkan bermain keluar ketika hujan. Ibuku sering katakan
bahwa aku bisa sakit, maka aku mesti berada di dalam rumah saja. Seringkali aku iri
dengan teman-temanku yang selalu lari-larian ketika hujan, tidak takut basah,
dan dengan bebas berseluncur di antara becek, yang bercak-bercaknya mengotori
kulit dan rambut.
Aku
mesti menerima nasibku yang tidak boleh ke mana-mana dan harus tinggal di
rumah, biasanya aku membaca buku, atau bermain sendirian dengan
boneka-bonekaku. Jika melihat aku sedang sendirian, Om Petir, biasanya saya
memanggilnya. Ia adik ibu paling bungsu, ia tidak menghabiskan kuliahnya di
kampus pada waktu itu, kata ibu, pikirannya kadang tidak waras. Aku belum
mengerti apa yang dimaksud dengan itu. Bagiku ia pria yang baik, dan senang
menemaniku.
Suatu
ketika ibu pergi ke pasar, ia meninggalkanku bersama Om Petir, ibu katakan
bahwa ia tidak akan pergi lama. Di luar hujan lebat sekali. Dari jendela aku
mengintip payung hitam ibu yang berkibar-kibar tertiup angin. Dalam hatiku, aku
mengingat kata-kata ibu, ibu pergi, takkan lama. Om Petir menemaniku bermain,
ia mengajakku masuk ke kamar tidurnya, untuk bermain dokter-dokteran, om Petir
yang jadi dokter, dan aku yang jadi pasiennya.
Aku
ingat, aku bergidik untuk pertama kalinya. Om Petir setengah memaksa, walau aku
sudah menggeleng, di dalam kepalaku terngiang-ngiang suara-suara ini, “ibu
pergi takkan lama.” Om Petir kini telah melucuti baju dan celanaku. Ia bukan
lagi pria baik hati yang kukenal. Aku mencoba mengingat suara ibu di dalam
kepala, “ibu pergi takkan lama.” Semetara di luar hujan bertambah deras, dan
suara petir—atau Om Petir—aku tidak dapat membedakannya lagi, meraung-raung di
bawah bantal.