Sebuah pertanyaan muncul di kepala saya, ketika sedang keramas. Bagaimana ketika akhirnya pernikahan akan membawamu kepada sebuah keterasingan. Saya tak tahu dari mana pertanyaan ini justru muncul di dalam kepala saya, barangkali ketika sebelumnya saya membaca novel terbarunya Intan Paramadhita (karena saya akan memoderatori acara pra-peluncuran novel tersebut besok lusa), dan di dalam novel tersebut saya menemukan kalimat-kalimat ini. Atau barangkali juga karena di malam sebelumnya saya membaca sebuah ulasan tentang Marianne Katoppo, seorang penulis perempuan yang pada akhirnya memutuskan untuk tidak menikah, dan memilih untuk tinggal bersama dua puluh kucingnya. Bahkan saya membaca di satu halaman yang menuliskan bahwa Marianne sedikit kesepian dengan keputusannya itu. Atau barangkali juga sebelumnya saya mendengarkan kembali sebuah seminar yang membahas tentang Pengakuan Eks Parasit Lajang, yang di dalam buku tersebut: Ayu Utami akhirnya menikah. Setelah sebelumnya ia menulis sepuluh dan sebelas alasan kenapa ia tidak akan menikah di bukunya Parasit Lajang. Atau barangkali saja, pertanyaan itu muncul karena dalam sebulan ini saya sering dicurhati oleh beberapa kawan perempuan tentang pernikahan dan rumah tangga mereka.
Entahlah, tapi pertanyaan itu muncul tiba-tiba di dalam kepala saya ketika saya sedang keramas. Pernikahan adalah satu atau bukan juga sebuah pilihan di dalam hidup. Tapi jangankan menikah, dalam berhubungan dengan sahabat dalam kehidupan sehari-hari saja pun kadang kita merasa saling terasing. Lalu pertanyaan lainnya adalah bagaimana kalau nantinya saya kemudian terasing di dalam pernikahan, bagaimana kalau akhirnya saya sendiri tidak bahagia dengan pernikahan saya, bagaimana kalau pada akhirnya segala pengandaian yang ada di dalam kepala saya tentang pernikahan pada akhirnya tidak sesuai dengan kenyataan, dan daftar ini akan bertambah panjang dengan bagaimana-bagaimana lainnya. Tak ada contoh yang paling dekat tentang pernikahan, selain kedua orang tua saya sendiri, mereka menikah selama empat puluh tiga tahun, sebelum akhirnya ibu saya meninggal, dan ayah seorang diri kini. Kehidupan pernikahan yang tidak diromantisir, tetapi berlimpah pengertian. Pada akhirnya yang tersisa adalah pengertian yang panjang. Karena kehidupan pernikahan adalah sebuah leburan dunia yang sama sekali lain.
Saya membayangkannya sebagai sebuah ruang yang sempit, di mana di dalamnya, dua orang yang telah menikah tadi akan berbagi segala hal senang pun yang menjengkelkan. Segala aroma yang senang pun menjengkelkan, dari mulai aroma ketiak, aroma masam pada kaki, aroma badan ketika tidak mandi berhari-hari, aroma kemarahan, bahkan aroma busuk yang terkuak dari hati. Sebuah kenyataan terpatri di sini: pasangan yang telah menikah dan memutuskan untuk saling lebur lagi mendapati diri mereka terjebak dalam sebuah labirin dengan orang yang sama. Dan yang dapat membantu mereka adalah pengertian dan pengertian. Lalu, apakah pada akhirnya mereka akan tetap saling merasa terasing satu dengan yang lain?
Bisa ya, bisa juga tidak. Ruang sempit tadi yang membatasi satu dengan yang lain, justru adalah sebuah pengertian yang lain, semakin sempit ruang, semakin dapat saling menyentuh satu dengan yang lain, semakin saling menyentuh satu dengan yang lain, maka semakin ada rasa untuk saling menginginkan satu dengan yang lain. Tapi apakah dengan pengandaian di dalam kepala saya ini, kemudian dapat menjawab pertanyaan saya, tidak juga. Saya masih merasa bahwa pertanyaan bagaimana-bagaimana tadi kemudian masih menjadi sesuatu yang asing di dalam kepala saya. Kemudian apakah dengan pengertian saja cukup? tulisan ini sendiri tidak dapat menjawab judul yang saya pakai di atas. Namun semoga saja tulisan ini tidak murahan.