Bagiku rindu adalah sebuah pekerjaan rumah. Jika
kehidupan adalah sekolah maka dapatkah kau bayangkan kau mengerjakan rindu
sebagai pekerjaan rumahmu seumur hidupmu. Aku kembali ke meja penuh dengan
tulang-tulang ikan dan percakapan-percakapan tentang hidup yang dilalui di kota-kota perantauan. Kau duduk dengan kemeja kotak-kotak berwarna
merah yang digulung sampai siku, kemudian memperhatikanku bercerita dengan dua pupilmu
lekat-lekat. Sesekali mengangguk, meletakkan sebelah lenganmu di atas meja,
sekilas kuperhatikan bulu-bulu halus pada lenganmu, dan rambut-rambut halus
yang tumbuh di rahangmu. Aku sengaja makan sedikit malam itu. Barulah ketahuan
setelahnya bahwa aku adalah si tukang makan banyak, aku adalah si tukang
tertawa besar. Namun, kau yang pemalu, bahkan sejak pertama bertemu tidak
berani menatapku lama.
Aku punya pertanyaan untuk diriku sendiri, sejak saat
itu hingga sekarang, berapa banyak rindu yang sudah kukerjakan? Berapa banyak
lagi rindu yang harus kukumpulkan supaya kelak aku naik kelas? Berapa banyak
lagi rindu yang harus kujalani sebagai ibadah hingga pada akhirnya aku
mendapatkan sebuah pahala? sayang sekali, semua pertanyaan ini belum dapat kujawab.
Saumlaki, Ambon, Namlea, Bandung, Jakarta, Salatiga, Jogjakarta,
Solo, adalah sebagian kota yang kita jejaki bersama. Malam itu ketika pulang
meninggalkanmu bersama meja makan yang penuh dengan piring berisi tulang-tulang
ikan, sesampaiku di rumah, aku lupa untuk mengirimkan pesan pendek kepadamu:
aku rindu. Keesokan harinya, aku terbang di atas pulau Yamdena dan lahirlah
kalimat-kalimat pendek berbunyi: perempuan dan
gelisah.
No comments:
Post a Comment