Sayang Indonesia Peluk Nusantara adalah
sebuah metafora. Saya membayangkan Indonesia atau Nusantara sudah seperti kekasih. Saya memulai dengan sebuah undangan singkat yang berbunyi
begini:
"Dear kawan-kawan, mengingat saat
ini Indonesia kita bersama sedang bersedih dan dirundung banyak sekali
persoalan yang membuat sedikit pusing kepala. Nah, tidak ada salahnya kita
meluangkan waktu bersama untuk sayang dan peluk Indonesia."
Undangan pribadi saya via whatsapp
tersebut kemudian dijawab antusias oleh beberapa kawan. Mereka bahkan
mengiyakan duluan untuk datang, walaupun pada akhirnya ada yang kemudian
bertanya kepada saya, “Theo, tapi aku baca apa, ya?” pertanyaan ini kemudian
saya jawab dengan, “baca apa saja kok, tidak perlu puisi, bisa sebuah tulisan
pendek, cerita pendek, karya sendiri maupun karya lain pun tidak apa-apa.”
Waktu berjalan dan kemudian saya harus
mengurus beberapa perintilan (seperti poster, diskusi menentukan tanggal) yang dibantu oleh Vira dan Ihsan, pemilik Kedai Cas. Jumat, tanggal 9 Juni kemarin, saya tiba di Kedai
Cas sekitar pukul empat sore, dengan pemikiran barangkali saya mau bantu
menyiapkan beberapa hal.
Tidak disangka-sangka, hujan turun
petang itu hingga membuat aktivitas menyiapkan sound system kita tunda sejenak.
Sekitar pukul tujuh lebih sedikit hujan agak berhenti, namun ketika hampir jam
delapan (sesuai dengan jadwal di poster kita harus mulai pukul delapan) hujan
belum reda juga. Padahal di langit bulan begitu terang dan purnama. Namun niat
baik pasti menemukan jalannya, sekitar pukul delapan lebih tiga puluh menit
hujan pun reda. Sebuah alas yang digelar untuk dipakai lesehan persis di depan panggung kemudian
dikeringkan kembali, supaya setiap orang dapat memakainya untuk duduk. Sound System kemudian disiapkan dan acara pun dibuka.
Kedai Cas ramai, banyak kawan-kawan dekat dan kerabat yang turut hadir. Acara pun berjalan dengan lancar, hampir ada dua puluhan penampil yang
membacakan puisi, cerita pendek, prosa, dan juga menyumbangkan lagu. Beberapa
adik-adik yang masih duduk di bangku SMA pun ikut hadir menyumbang puisi
mereka. Sayang Indonesia Peluk Nusantara adalah rangkaian keberagaman yang
menyatu dalam sebuah rasa sayang yang kuat. Malam ini berkumpul: musisi,
pelukis, perajut, guru, penulis, pemain pantomim, arsitektur, wartawan, dan kawan-kawan dari latar belakang yang berbeda-beda untuk mengungkapkan rasa
sayang dan peluk mereka untuk Indonesia.
Ruri dan Icha yang membuka acara
Lian dan Sissy yang membaca puisi mereka.
Navida Suryadilaga.
Grace Saherian dan Dhira Bongs yang menyanyikan Melati Putih.
Rain Chudori yang membacakan salah satu cerita pendeknya.
Palupi Kinkin dengan sebuah puisi pendek yang ia tulis di tahun 2010.
Nasrul Akbar yang membacakan puisi dari setiap doodling yang ia buat dan membagikannya juga kepada penonton.
Dimas Wijaksana dan Dwi Kartika Yudhaswara
Dimas Hary dengan sebuah tulisan pendeknya.
Ayu Kuke dengan sebuah nyanyian.
Rizky Satria dengan dua buah tulisan pendeknya.
Natalia Oetama dengan tulisan pendeknya.
Jabbar Muhammad dengan puisi yang ia tulis sendiri.
Karina yang membacakan puisi Rendra.
Priska Putri Widjaja dengan dua buah puisi pendeknya.
Boit dengan salah satu tulisan pendeknya.
Zaky Yamani dan Reita Ariyanti.
Wanggi Hoed.
Tetangga Pak Gesang.
Untuk itu saya mau mengucapkan terima
kasih saya kepada setiap kawan-kawan yang sudah meluangkan waktu dan menyumbangkan “sayang”
dan “peluk” mereka untuk Indonesia:
Natalia Oetama, Navida Suryadilaga,
Dimas Hary, Ayu Kuke Wulandari, Catur Ratna Wulandari, Rizky Satria, Rain
Chudori, Palupi Sri Kinkin, Iit Boit, Zaky Yamani, Reita Ariyanti, Wanggi Hoed,
Nasrul Akbar, Dimas Wijaksana, Dwi Kartika Yudhaswara Ruri Fitriyanti, Icha,
Grace Sahertian, Dhira Bongs, Bintang, Lian, Sissy, Mira, Mas Gatot, Karina,
Priska Putri Widjaja, Jabbar Muhammad, Aum Dayu & Meicy Sitorus (Tetangga
Pak Gesang).
Juga kepada kawan-kawan dari Kedai Cas yang sudah
menyediakan tempat dan mau direpotkan: Vira, Ihsan, Dissa, Yusuf, Baya, Adjo
(dan kawan-kawan yang menyiapkan dekorasi lilin), Angga (Dokumentasi), dan tim
belakang meja kopi yang sibuk melayani pemesanan.
Sekali lagi kebaikan hati kawan-kawan semua
tidak dapat saya balas satu per satu, tapi semoga alam raya yang berkenan
memelihara, merawat, dan menyebarkannya sampai ke ujung bumi. Hendaknya
pertemuan-pertemuan untuk menyebarkan lebih banyak lagi cinta seperti ini
haruslah kita pelihara, mengutip sebuah cuplikan cerita pendek Samad Mencari
Bangsa, yang dibaca oleh Zaky Yamani dan Reita Ariyanti, “apa kamu nggak ada
kerjaan lain? memikirkan negara dan bangsa sampai mau putus urat kepala segala.”
Kita tak perlu putus urat kepala, putus harapan,
apalagi mau pindah ke bangsa lain segala, namun kita dapat tetap tinggal di sini, bertahan
dan terus mengusahakan hal-hal baik untuk Indonesia dan mewariskan lebih banyak lagi benih cinta kepada generasi di bawah kita. Maka teruslah Sayang Indonesia
Peluk Nusantara!
[foto oleh Ruri Fitriyanti, Windy Pramudya, Angga Hamzah]