Bagaimana
puisi tercipta dari dirimu? Seperti apa prosesnya? Apa yang datang lebih
dahulu, apa yang datang paling akhir? Bagaimana sampai dia tertuang di atas
kertas?
Puisi
tercipta dari hal-hal yang paling keseharian di dalam diri saya. Jika ditanya
seperti apa prosesnya, saya senang mengamati. Senang mengamati hal-hal kecil di
sekitar saya, misalnya rumput-rumput hijau, daun kering dengan teksturnya
ketika melangkah, air dari dahan yang menetes pada kulit, hujan di jendela
pendar cahaya dari lampu-lampu mobil ketika gelap, dan kelopak kekasih. Hal-hal
semacam itu senang saya amati lekat-lekat dan lambat-lambat. Setelah diamati
lalu saya sambungkan dengan rasa yang ada di dalam diri saya. Kemudian proses
selanjutnya adalah menuangkannya ke dalam kertas.
Seperti
apakah tempat yang 'paling liar' di muka bumi menurut Theo? Bagaimana kamu
memaknai kata "LIAR" itu sendiri? Apa kamu punya kenangan atau
ingatan tertentu mengenai kata LIAR? :)
Tempat
‘paling liar’ di muka bumi itu menurut saya adalah di dalam kepala manusia.
Karena ada dunia yang tidak berbatas di dalam sana. Jika harus memaknai kata
‘liar’ maka saya akan melihatnya sebagai sebuah ‘petulangan rasa’ bagaimana kita
berani untuk menjelajahi setiap rasa yang ada di dalam diri kita, rasa apapun
itu dengan berani. Kenangan tentang kata ‘liar’ sendiri ketika berumur dua
belas atau tiga belas tahun, saya pernah mengendap-endap keluar dari rumah
tengah malam, hanya untuk menonton bioskop tengah malam, tanpa izin kepada
kedua orang tua saya, hihihi.
'Keliaran'
macam apa yang menurutmu mengalir dalam dirimu? Dari mana dia berasal, dan
bagaimana kamu berteman dengannya?
Saya
senang dengan hal-hal yang datang kepada saya di kali pertama. Baik itu
kalimat-kalimat yang datang pertama kali, maupun setiap rasa yang datang untuk
pertama kali. Saya tidak suka menyuntingnya. Karena sesuatu yang lebih ‘mentah’
itu biasanya jauh lebih jujur. Itulah sebabnya, mengapa saya tidak pernah
menyunting puisi-puisi saya, terkecuali urusan diksi. Segala sesuatu yang lebih
‘mentah’, lebih ‘apa adanya’, lebih ‘jujur’ memiliki keliarannya sendiri. Dan
itu ada di dalam saya.
Bagaimana
caranya menemukan puisi di sekitar kita? Harus mulai dari mana? Bisakah kita
berpuisi tanpa kata-kata?
Saya
percaya bahwa inspirasi mampu menjawil siapa saja yang ia kunjungi.
Permasalahannya adalah siapa yang peka dan siapa yang tidak. Jika ketika
dijawil, lalu orang tersebut abai, maka inspirasi sudah pasti mencari orang
yang lain. Jadi jika mau menemukan puisi yang ada di sekitar kita, kuncinya
hanya satu: jangan abai. Berpuisi bagi saya tidak perlu dengan kata-kata kok.
Hal ini bisa kita contohi dari bagaimana alam raya berpuisi, itu bisa melalui
pelangi, warna-warni senja, deru angin kena muka, asin laut yang menempel pada
kulit, maupun jejak pasir pada telapak kaki.
Bagaimana
tempat kelahiran Theo memengaruhi karya-karya Theo, cara Theo melihat dunia,
atau cara Theo berproses secara kreatif?
Ambon,
tanah kelahiran saya, sangat mempengaruhi karya-karya saya, cara saya melihat
dunia, hingga kemudian cara berproses kreatif saya. Ayah dan Ibu saya sudah
mengenalkan saya kepada ‘dunia panggung’ ketika saya masih sangat kecil. Saya
dengan dua kakak perempuan saya juga tumbuh dengan mencintai menyanyi sejak
kami kecil. Tidak hanya menyanyi, baca puisi, akrab di panggung untuk bermain
drama/teater kecil-kecilan, Ayah dan Ibu pun tak lupa mengenalkan kami kepada
buku. Ketika remaja, saya ingat, saya sudah membuat karangan cerita pendek
pertama saya, walaupun cerita pendek itu tidak selesai hingga sekarang.
Latar
belakang alam Ambon yang eksotis pun merangsang saya yang tumbuh di sana untuk
mencipta. Entahlah, tetapi saya merasa lautan tidak hanya sekedar berwarna
biru, tetapi ada gradasi warna yang jauh lebih kaya. Dan pegunungan pun tidak
melulu berwarna hijau. Ia bisa saja berwarna seperti telur asin. Di situlah
saya belajar untuk melihat segala kemungkinan di dalam segala ketidakmungkinan.
Apakah
setiap hari Theo berpuisi, atau meluangkan waktu untuk melahirkan karya
kreatif? Bagaimana Theo bersetia (atau tidak bersetia) pada seni dan
kreativitas di dalam diri Theo?
Apakah
setiap hari Theo berpuisi? Jika pertanyaan ini ditujukkan kepada saya sekarang,
maka jawabannya adalah iya. Karena saya sedang mempersiapkan sebuah karya buku
puisi selanjutnya. Tapi, terkadang saya juga tidak berpuisi dalam waktu yang
lama kok.
Namun
yang penting bagi saya adalah melahirkan karya kreatif, itu musti dilakukan
setiap hari, jika tidak berpuisi, paling tidak saya menulis untuk blog, jika
tidak menulis untuk blog, paling tidak saya menulis sekelebat kalimat-kalimat
yang lewat di kepala saya di dalam buku catatan kecil yang suka saya bawa atau
di laman notes telepon genggam saya. Jika proses ini diabaikan oleh saya, saya
suka gelisah dan rungsing.
Saya
memilih untuk bersetia pada seni dan kreativitas di dalam diri saya. Saya pikir
ini adalah persoalan membuat pilihan saja. Gairah saya tidak akan jauh-jauh
dari seni dan kreativitas. Hidup dan memilih untuk melakukan kegairahan secara
sadar dan penuh, saya anggap sebagai sebuah pencapaian di dalam hidup. Dan yang
paling terpenting dari melakukan semua kegairahan ini adalah melakukannya
dengan hati bulat, bukan hanya sekedar keren-kerenan. Supaya tidak menyesal
ketika mati nanti.
[tulisan
ini dalam versi bahasa inggris juga diterbitkan oleh Hanny Kusumawati untuk
laman behind the pages di beradadisini.com]