*Kadang aku serasa melihatnya kembali—rumah pertanian
itu, terbakar dalam gelap. Kadang aku bisa merasakan perihnya musim dingin di
paru-paruku, dan sepertinya aku melihat lidah-lidah api itu terpantul di samudra,
airnya begitu aneh, kerlap-kerlip oleh cahaya. Malam itu aku sempat menoleh
sejenak. Aku menoleh untuk mengamati api itu, dan andai kujilat kulitku, masih
bisa kurasakan asinnya. Asap itu. Dulu tidak selalu sedingin ini. Aku mendengar
bunyi langkah kaki.
Adalah sebuah prolog. Kemudian aku melihatnya. Ia
berambut hitam panjang. Tubuh kurusnya tersingkap dari lengan dan tulang
pipinya yang mencuat sedikit. Ia sedang duduk dan melihat ke jendela. Sementara
udara di luar berdentum menghantam jendela. Musim dingin yang berat belum
berakhir.
“Agnes, bagaimana rasanya? Bagaimana rasanya menjelang
kematianmu sendiri?”
Aku memberanikan diri bertanya kepadanya. Ia tidak bergerak dari tempat
ia duduknya sama sekali. Ia masih melihat ke jendela. Temaram sinar bulan yang memantul ke
tumpukan salju di pekarangan, membuat malam itu tidak terlalu pekat.
“Aku.. aku belum siap.” Jawabnya perlahan, ia lalu
mengembuskan nafasnya pelan.
Aku mendengarkan embusan nafasnya. Berat. Kali ini ada jeda di antara kami. Kemudian aku
merasakan ruangan di Stora-Borg itu kini melayang-layang.
“Aku, aku belum siap..” ia tiba-tiba melanjutkan
kalimatnya, “tapi satu hal yang mungkin menyenangkan adalah bertemu dengannya.”
“Natan, maksudmu?” tanyaku kemudian.
Ia menjawabku
hanya dengan mengangguk.
** “Di Geitaskard kami suka berjalan-jalan di salju
pada saat-saat senja, dan salju itu berdecit di bawah injakan kaki kami.
Pernah, sekali waktu, aku terpeleset di salju, dan kusambar lengan Natan hingga
dia hilang keseimbangan. Kami tergelimpang bersama-sama, tertawa-tawa, dan di
tanah ia mendorongku hingga telentang, sehingga kami tengadah memandang
bintang-bintang di atas sana. Dia menyebutkan nama-nama rasi bintang itu
untukku.”
Agnes kini memalingkan wajahnya dan melihat lurus ke
arahku. Aku yang sedari tadi tidak pernah melihat matanya secara langsung
ketika bicara, kini agak merasa sedikit gelisah. Aku lalu menggeser pantatku di kursi dan membetulkan posisi dudukku.
Kini, mataku langsung melihat ke arah matanya, dan
menajamkan telinga untuk mendengarkan ceritanya selanjutnya. Sementara deru
angin masih saja memburu di luar, aku menunggu Agnes melanjutkan ceritanya
kembali.
Ia lalu melanjutkan ceritanya, “menurutmu, ke sanakah kita akan
pergi setelah kita mati?” tanyaku kepada Natan waktu itu. “Aku tidak percaya
ada surga,” Natan kemudian berkata kepadaku.
Ruangan itu lengang lagi untuk beberapa saat. Tapi kini terasa ada sesuatu yang mencair di dalamnya. Rasanya seperti menggenggam salju pada kedua telapak tanganmu, cairan dingin itu mencair di telapak tanganmu, meninggalkan rasa gemetar kemudian.
Untuk pertama kalinya aku merasakan sebuah kesunyian.
Kesunyian yang aneh.
***
Apa yang membuat saya berdegup kencang kepada buku
sungguh aneh—biasanya sebelum membeli, buku-buku itu tampak memanggil saya.
Ketika saya menyentuh, memegang punggung mereka, membaca sekilas bagian
sinopsis, saya biasanya jatuh cinta duluan dengan tema yang diangkat. Saya
tidak akan melewatkan membaca halaman hak cipta terjemahan dan sebagainya,
kemudian dilanjut dengan membaca halaman persembahan. Tema-tema menyenangkan
bagi saya, salah satunya tentang: kematian.
Saya menghabiskan buku ini di dalam kereta menuju
Solo. Saya bertemu dengan Agnes di dalam kepala saya. Hannah Kent
menggambarkan Agnes dengan metaforanya sendiri. Bahwa menghadapi sebuah
kematian, bukanlah sebuah perkara yang gampang, karena menghadapi mati adalah
persoalan yang berbeda daripada menghadapi hidup. Tak ayal lagi, Burial Rites,
kemudian memenangkan sejumlah penghargaan.
Satu hal yang juga sangat berarti dan mesti diberikan
penghargaan adalah, Tanti Lesmana, terima kasih sudah menerjemahkannya dengan
sangat mumpuni. Termasuk metafora-metafora yang sangat mewakili. Seperti
kalimat-kamlimat ini: “aku ingin memetik langit sekepal-kepal dan memakannya.”
Bagi yang menyukai metafora yang (tidak biasa) mungkin
akan menyukai buku ini.
-
* bagian epilog
** bagian percakapan Agnes dengan Natan di halaman
269.
No comments:
Post a Comment