Akhir-akhir ini saya banyak merenungkan
tentang jatuh-jatuh, rumah, pagar, halaman dan kutu busuk. Kutu busuk yang
merayap masuk ke dalam kasur dan menghisap darah, sekaligus perasaan-perasaan
rindumu setiap malam, yang hanya dapat kamu sampaikan kepada bulan terang dalam
diam.
Saya suka bagaimana Budi Darma
menggambarkan percintaan seperti kutu busuk dalam bukunya Olenka. Sama seperti
saya suka dengan kata “berbulan madu”, karena saya selalu membayangkan menjadi
lebah yang tinggal di bulan, saling menghisap madu setiap hari. Lihat bagaimana
kutu busuk dan lebah dapat menjelma menjadi sesuatu yang indah, hanya karena
mereka memiliki kesamaan yaitu dapat menghisap.
Manusia dan kejatuhannya yang tidak
direncanakan—setiap hari bangun di pagi hari, tidak dalam kondisi yang sama,
tetapi jatuh kepada seseorang yang sama di ingatan yang paling pertama. Adalah
sebuah pilihan. Pilihan untuk membangun rumah bersama—tidak, tanpa pagar,
dengan halaman yang luas: dengan bebas bermain, berdua, bertiga, atau bahkan
beramai-ramai. Kemudian tinggal atau pergi adalah pilihan selanjutnya. Tetapi
saya—perempuan yang memilih tinggal dalam jatuh-jatuh yang tidak
direncanakan.
Seperti Tuhan yang menciptakan manusia
dengan kehendak bebas, rasanya sperti itu, dapat menikmati kemerdekaan sejati
dalam mencintai, memiliki maupun tidak memiliki. Sebab cinta adalah jatuh-jatuh
yang tidak direncanakan. Mungkin tidak berujung. Tetapi hendaklah ia dikerjakan
dengan sungguh-sugguh, dan sepenuh hati, karena yang seperti ini bisa ditebak
ujungnya: tidak akan pernah ada rasa menyesal, ketika pun harus berpisah.
Segala sesuatu bukannya tanpa tujuan.
Tidak ada jatuh-jatuh tanpa tujuan. Tidak ada kesedihan tanpa tujuan. Tidak ada
keindahan tanpa tujuan. Rasanya seperti sudah. Rasanya seperti cukup. Saat ini
tidak memilikimu, bukan berarti tidak bahagia, karena kebahagiaan itu sendiri
dapat muncul dari rasa kekurangan. Saat ini, ketika segala sesuatu berjarak,
bukan berarti tidak dapat menikmati keindahan, karena kekosongan itu sendiri
dapat menjadi sebuah hening yang indah.
Saya mencintaimu, bukan karena suatu hari
kita dapat membangun rumah bersama—tidak dapat. Saya mencintaimu karena saya
sudah lebih dulu dicintai, dan memberikan kepenuhan lainnya kepadamu hanyalah
bonus. Saya mencintaimu bukan karena saya tidak punya ketakutan, seperti omong
kosong yang selalu saya katakan, “jatuh cinta hanya kepada orang-orang yang
berani.”
Rasanya tidak ada yang dapat
mendefinisikannya, karena saya mencintaimu karena kekuranganmu.
[Ketika mendung di Bandung, Selasa 29 September,
15.18 wib]