kamu cenderung invisible. tidak kelihatan. dan dianggap kurang punya ‘peralatan’ seperti pekerja lainnya. sebab kamu biasa saja. waktumu banyak dihabiskan menggembel dan merenung dengan celana pendek, sendal jepit, kaus longgar kesukaan, rambut dicepol. sekali lagi, kamu seperti dianggap tidak mumpuni. atau layak dengan apa yang kamu kerjakan. jika kamu bertanya kepada saya, ‘peralatan’ apa yang saya miliki sebagai pekerja imaterial? saya punya beberapa, yaitu, satu, laptop notebook kecil berwarna biru. saya beli dengan menyicil dari seorang kawan bertahun-tahun lalu. dua, buku catatan. saya mengoleksi beberapa buku catatan. dari buku catatan bersampul kulit, yang biasanya saya pakai untuk menulis puisi-puisi. kemudian buku catatan bermerek front, yang saya dapat di toko buku. saya senang dengan tekstur kertasnya, jika dikawinkan dengan tinta spidol berwarna hitam. ia dipakai menulis catatan-catatan kecil acak yang sering saya temui. tiga, mesin ketik. albert lettera—mesin ketik saya, akan saya bawa jika ada keperluan mengetik di luar. jika tidak, ia terbuka begitu saja di samping tempat tidur, saya akan memakainya jika saya ingin mengeluarkan puisi-puisi pendek. empat—yang paling penting adalah kepala. kepala, termasuk pikiran yang sering saya bawa ke mana-mana. pendek kata, “hal-hal di kepala—termasuk pikiran saya lebih mahal dari uang, imbalan, atau nilai kelayakan lainnya yang coba kamu tempelkan. ia berharga.” saya pernah menulis tentang ini, pengertian lain untuk pekerja imaterial adalah pekerja spiritual. orang-orang yang bekerja dengan sesuatu yang tidak kelihatan—sungguh-sungguh memberi dengan jiwa mereka dengan atau tanpa imbalan. adakah jiwa seseorang mampu dibeli atau dibayar oleh orang lain? maka, sayangilah pikiranmu.
Saturday, December 21, 2019
Sebagai Pekerja Imaterial
kamu cenderung invisible. tidak kelihatan. dan dianggap kurang punya ‘peralatan’ seperti pekerja lainnya. sebab kamu biasa saja. waktumu banyak dihabiskan menggembel dan merenung dengan celana pendek, sendal jepit, kaus longgar kesukaan, rambut dicepol. sekali lagi, kamu seperti dianggap tidak mumpuni. atau layak dengan apa yang kamu kerjakan. jika kamu bertanya kepada saya, ‘peralatan’ apa yang saya miliki sebagai pekerja imaterial? saya punya beberapa, yaitu, satu, laptop notebook kecil berwarna biru. saya beli dengan menyicil dari seorang kawan bertahun-tahun lalu. dua, buku catatan. saya mengoleksi beberapa buku catatan. dari buku catatan bersampul kulit, yang biasanya saya pakai untuk menulis puisi-puisi. kemudian buku catatan bermerek front, yang saya dapat di toko buku. saya senang dengan tekstur kertasnya, jika dikawinkan dengan tinta spidol berwarna hitam. ia dipakai menulis catatan-catatan kecil acak yang sering saya temui. tiga, mesin ketik. albert lettera—mesin ketik saya, akan saya bawa jika ada keperluan mengetik di luar. jika tidak, ia terbuka begitu saja di samping tempat tidur, saya akan memakainya jika saya ingin mengeluarkan puisi-puisi pendek. empat—yang paling penting adalah kepala. kepala, termasuk pikiran yang sering saya bawa ke mana-mana. pendek kata, “hal-hal di kepala—termasuk pikiran saya lebih mahal dari uang, imbalan, atau nilai kelayakan lainnya yang coba kamu tempelkan. ia berharga.” saya pernah menulis tentang ini, pengertian lain untuk pekerja imaterial adalah pekerja spiritual. orang-orang yang bekerja dengan sesuatu yang tidak kelihatan—sungguh-sungguh memberi dengan jiwa mereka dengan atau tanpa imbalan. adakah jiwa seseorang mampu dibeli atau dibayar oleh orang lain? maka, sayangilah pikiranmu.
Monday, December 16, 2019
Bandara, Menunggu, dan Mimpi
kami hendak berangkat ke surabaya. saya dan weslly diundang ke gelaran sunday market, untuk meneruskan pelayaran bulan dan bahaya-bahaya yang indah. di sana, kami akan berdiskusi mengenai buku, serta membuat lokakarya kecil menulis puisi. saya dan weslly menggunakan kendaraan dari kamar kos di salatiga menuju bandara di semarang. kami tiba kurang lebih satu jam sebelum jadwal pesawat kami berangkat. semua lancar. tidak ada masalah apa-apa. kami melangkah masuk menuju ruang tunggu. menunggu.
beberapa hari sebelum jadwal keberangkatan kami ke surabaya, saya terbangun oleh sebuah mimpi. ada satu kalimat seperti paragraf awal sebuah buku, yang muncul di mimpi saya, terbawa hingga saya membuka mata. ia berbunyi begini, “kematian adalah sebuah ketidakpaksaan.”
di ruang tunggu, sebuah pengumuman menggelegar dari pengeras suara, “pengunjung yang terhormat, pesawat terbang wings air dengan nomor penerbangan (sekian) mengalami sedikit keterlambatan sebab terjadi perbaikan operasional.” mata saya tertumbuk pada pengumuman berjalan pada sebuah layar besar, dengan keterangan ‘delay’ pada pesawat kami. sejam kami menunggu. sembari menonton film ice age di HBO, kami masih menunggu. dua jam kemudian, saya mengambil kotak makanan ke petugas sebagai kompensasi seraya bertanya, ada perbaikan apa pada pesawat? dan kapankah kami dapat berangkat? petugas menyerahkan kotak makanan kepada saya sambil berkata bahwa adanya perbaikan pada AC, dan masih belum diberitahu oleh petugas di lapangan, kapan kami dapat berangkat. saya kembali ke tempat duduk, melanjutkan menonton ice age, masih menunggu.
selesai makan, dan memasuki tiga jam kami menunggu, belum ada pengumuman apa-apa. saya memberi kabar kepada kawan panitia di surabaya, bahwa hingga jam segini, kami masih belum juga dapat berangkat. pikiran-pikiran berseliweran di kepala saya. bagaimana kalau kerusakan AC ini parah? bagaimana kalau pesawat akan jatuh jika adanya kerusakan AC? bagaimana jika petugas hanya mengada-ada dengan mengatakan bahwa hanya reparasi AC, padahal ada kerusakan yang lebih parah? bagaimana kalau akhirnya pesawat kami jatuh? runtutan pertanyaan tentang mati, serta ketakutan lainnya masih terngiang. saya kembali teringat mimpi saya beberapa hari lalu, “kematian adalah sebuah ketidakpaksaan.” apakah ini sebuah pertanda?
weslly kepengin merokok. saya menemaninya ke ruang terbuka di lantai tiga ruang tunggu bandara. sekadar menghela udara segar, sebab kami cukup sumpek menunggu di ruang tunggu. memasuki empat jam kami menunggu, akhirnya ada pengumuman pesawat kami akan diberangkatkan pada pukul 16.45—artinya kami menunggu hampir lima jam di bandara. ada secercah lega. tapi kekhawatiran belum beranjak. “bagaimana bila nanti..”—“apakah ini sebuah pertanda?”
kami menuju pesawat. dalam keadaan masih khawatir, kami melangkahkan kaki saja. berani. pesawat terbang kurang lebih lima puluh menit. mulus tanpa ada goncangan yang terlalu berarti. sekelebat pikiran lewat di kepala saya, “kematian adalah sebuah ketidakpaksaan, kehidupan adalah sebuah kepasrahan.”
Subscribe to:
Posts (Atom)
Featured Post
Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai
Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...