Showing posts with label bakul lagu. Show all posts
Showing posts with label bakul lagu. Show all posts

Friday, August 15, 2014

Tentang Ghost Stories Dan Perasaan Perasaannya










Ghost Stories, bisa diterjemahkan sebagai cerita hantu. Cerita hantu yang biasanya suka kita dengarkan menjelang tidur. Cerita hantu yang membuat kita selalu membayangkan seperti apa rupanya, tidak membuat takut, hanya deg-degan sedikit. Tetapi saya ulagi lagi tidak membuat takut. Karena hantu itu adalah rindu.

Saya mendengarkan Ghost Stories, album Coldplay berulang-ulang. Lalu menemukan satu kata: rindu. Mengutip dari sebuah buku seperti dendam, rindu pun harus dibahas tuntas. Terlepas dari katanya album Ghost Stories ini memang dibikin karena Chris Martin mengalami “kegalauan” yang sangat dalam ketika hendak berpisah dengan Gwyneth Paltrow, tetapi saya merasa bahwa ada unsur rindu yang begitu besar, yang hendak “dituntaskan” olehnya.

Karena ketika rindu itu tidak dituntaskan, ia akan berubah menjadi hantu. Rasanya lebih berat jika kamu dihantui oleh rindu ketimbang dihantui oleh “hantu” yang sebenarnya. Karena pada dasarnya hantu sendiri tidak punya rindu. Mereka tidak merindukan siapa-siapa. Tetapi bayangkan jika kamu sedang “rindu sangat” kepada seseorang, dan rindu sangat tadi itu tidak tuntas, maka bersiaplah, kamu akan berubah menjadi hantu.

Ghost Stories adalah sebuah album pengantar tidur. Melayang-layang. Tubuhmu menjadi sangat ringan. Kemudian lelap ke sebuah dunia mimpi, dimana di sana ada sebuah rindu yang menghantui kamu cukup lama. Rindu itu minta kamu membayarnya dengan tuntas.

Ghost Stories adalah sebuah langit hitam, dengan bulan merah sepotong menggantung di antaranya, tidak ada bintang sama sekali. Mendengarkan album ini, akan indah ketika sendirian, bukan beramai-ramai. Sensasinya akan berbeda.

Track favorit saya adalah Ink, Oceans, O, dan tentu saja Midnight. Tetapi akhirnya saya menyadari bahwa keseluruhan lagu di dalam album ini adalah sebuah kesatuan cerita. Mereka tidak bisa didengarkan terpisah. Seperti lautan biru luas, permukaanya tenang, tetapi sebenarnya ia bisa membuatmu tenggelam.


Selamat menuntaskan rindu. Selamat mendengarkan! 

Tuesday, June 19, 2012

Let's Talk EP by Homogenic








Tap tap tap.

Langkah kaki kecil itu mantap menuju ke sebuah tempat. Sepatu garis-garis merah kuningnya berayun lantang. Rok mini selutut dan sweter merah muda dengan kapucong membuat poninya menyembul keluar. Tampaknya ia hendak menuju ke sebuah tempat. Gadiskecil menyusuri trotoar panjang. Menghindari beberapa genangan air sisa hujan semalam.

Sebuah dompet kecil dengan mainan terjuntai dari pengaitnya dipegang erat di tangan kanannya. Di dalam hati ia bersenandung riang La la la la. Gadis riang itu hendak kemana.

Lalu lintas sekitar tidak ramai. Hanya satu dua mobil di sekitar jalan utama. Tiba-tiba ia berbelok pada sebuah gang kecil, dan kali ini langkahnya bertambah cepat.

Tap tap tap.

Begitu bunyinya. Di depan matanya kini, tinggal beberapa langkah lagi sebuah toko kecil bertuliskan “Let’s Talk EP” pada plangnya. Dengan lampu kelap kelip seperti lampu natal di sekitarnya. Ketika masuk ke dalamnya, ternyata itu adalah toko permen. Kerling mata gadiskecil itu terpancar seketika. Mulutnya sedikit menganga. Kepalanya celinguk ke kanan dan ke kiri seperti mencari sesuatu. Beberapa detik ia tampak terkagum-kagum akan toko tersebut.

Toko itu tidaklah besar. Berjejejer rak-rak mungil pada setiap dindingnya. Ada juga beberapa lemari tempat menyimpan toples-toples dengan segala bentuk. Isi dari toples-toples itu adalah gula-gula dengan segala rasa segala bentuk.

Tak heran jika gadiskecil itu begitu terpana. Butuh waktu yang cukup lama untuk akhirnya berkata kepada pelayan hendak membeli yang mana? ia pun berkata kepada pemilik toko yang mengenakan celemek warna-warni dengan rambut ekor kuda. Dan gadiskecil menunjuk kepada tujuh buat toples permen berwarna secara acak. Masing-masing toples yang ia pilih punya kertas putih yang bertuliskan nama permennya dan penjelasan singkat mengenai permen tersebut. Ia memulai dengan Utopia: yang ini rasanya meriah. Sekali coba mau lagi dan lagi. Dan mengandung adiksi yang cukup tinggi. Get Up and Go: kamu akan seperti badut yang melompat kegirangan. Tanpa malu-malu. Goyangkan kepalamu ke kanan dan ke kiri atas dan bawah. Dunia Ini Indah: keindahan tak hanya pada nada. Tapi juga liriknya. Dan percaya atau tidak keindahan itu menular. Takkan Berhenti Disini: akan membuatmu terngiang-ngiang selalu. Ketika mengulumnya di mulut ada sisa yang tidak pernah selesai. Walk In Silence: yang sepi tetapi manis. Bayangan Menari: heh hoh hehoh heh hoh hah. Bagian favorit yang cukup sexy. Langkah Menyepi: bagian ini akan membuatmu bersenandung ringan.

Tujuh toples tadi dan isinya dibungkus. Dibawa pulang oleh gadiskecil. Ia siap berdendang di jalan-jalan. Mendengarkan album ini seperti menghisap gula-gula. Siapkan dirimu untuk kejutan pada setiap rasanya.

Tap tap tap. Langkah kaki gadiskecil  terdengar riang. 

Wednesday, February 8, 2012

Sebuah Tulisan Tentang Puisi Yang Dinyanyikan


Membaca sebuah artikel tentang poet di blog.sfgate.com saya menemukan sebuah pernyataan yang menarik sekali yaitu

“Musicians have their own lists–dozens of them. So, for this project, no Bob Dylan, no Jim Morrison, no Springsteen, unless they have a separate life as a poet. Ryan Adams, for example, has published at least two books of poems. Jewel and Tupac (two sides of the same poetic coin?) have also written books of poetry. So, those works could count but their lyrics, not.”

Beberapa musisi terkenal di luar sana adalah penyair. Saya membayangkan mereka menulis puisi kemudian menyanyikannya dalam hati. Sebelum akhirnya membuatkan musik yang keren.

Ada puisi-puisi sepi yang akhirnya digubah menjadi lirik sedih pada sebuah lagu. Ada pula puisi-puisi cinta yang digubah menjadi lirik gembira. Tapi ada juga lirik sedih yang dikawinkan dengan musik gembira.

Saya suka sekali dengan Emilliana Torini, perempuan yang berasal dari iceland ini mencipta lirik-lirik sepi yang mampu membuat saya hanyut. Ada analogi rasa cinta yang begitu dalam kepada seseorang. Ada penantian yang tidak pernah menjadi nyata. Tapi ada kekuatan ketika mendengarkan lagunya.



Pertanyaannya apakah Emilliana mencipta lirik dulu atau mencipta musiknya terlebih dulu. ‘Sunny Road’

wrote you this
i hope you got it safe
it's been so long
i don't know what to say
i've travelled 'round
through deserts on my horse
but jokes aside
i wanna come back home
you know that night
i said i had to go
you said you'd meet me
on the sunny road


Perjalanan panjang yang dilakukan untuk bertemu dengan seseorang. Mungkin cinta itu adalah perjalanan panjang itu sendiri. Untuk kehilangan—menemukan—tidak lagi menemukan.

i never married
never had those kids
i loved too many
now heaven's closed its gates.
i know I'm bad
to jump on you like this
some things don't change
my middle name's still 'Risk'
i know that night
so long long time ago
will you still meet me
on the sunny road

Ketika mencintai terlalu dalam ada risiko. Risiko bahwa bisa jadi kita tidak akan pernah ada bersama-sama dengan orang itu seumur hidup. Risiko untuk tidak pernah memiliki. Tapi apa kita pernah benar-benar memiliki seseorang?

well, this is it
i'm running out of space
here is my address
and number just in case.
this time as one
we'll find which way to go
now come and meet me
on the sunny road

Saya pikir ada kepastian di akhir. Akhir adalah kesimpulan. Saya selalu mengira akhir dari segala sesuatu adalah jawaban. Padahal belum tentu. Akhir bisa jadi justru adalah proses mengawali. Akhir bukanlah penutup yang selama ini kita cari. Akhir adalah awal yang baru. Memulai kembali. Dan tidak tahu kapan kita bisa mengakhirinya.

Sunny Road.

Adalah imajinasi. Sebuah jalan mimpi. Hanya ada pada sebuah petualangan yang diciptakan oleh diri kita sendiri. Sejujurnya tidak pernah ada.

Ini hanya satu contoh sebuah lirik sepi. Puisi sepi. Kemudian dinyanyikan. Dinyanyikan dalam hati. Atau menjadikannya musik yang bagus sekalian. Lagu adalah puisi yang dinyanyikan. Penyanyi adalah penyair yang mendengungkan karyanya di dalam hati menjadi nada. 


Tuesday, November 29, 2011

It’s All Yours – Tesla Manaf Effendi feat Mahagotra Ganesha




Semangat untuk bersama yang kemungkinan hendak ditawarkan oleh Tesla Manaf Effendi dan kawan-kawan dari Mahagotra Ganesha dalam album ini. Ketika mendengarkan album ini saya melihat seorang gadis Bali dengan kain kebaya kuning mencrangnya. Atasan merah jambu. Rambut tergerai berjalan di tepi sawah dengan membawa sesajen di tangan sebelah kirinya.

Pergi kemana? Saya tidak tahu.

Bisa saja ia ingin sembahyang. Kira-kira ketika ia sembahyang, ia akan mengucap apa: mugkin penantian. Menanti sang kekasih yang dulunya pernah bersama, terpisah dan sampai sekarang belum bertemu lagi. 

Terdapat banyak emosi di dalam penantian. Menunggu itu bukan kesalahan. Tetapi jika menunggu sesuatu yang tidak pasti apa itu juga bisa disebut kesalahan?—entahlah. Banyak kebingungan, ya pada bagian selanjutnya setelah mendengarkan album ini yang saya rasakan adalah ini. Kebingungan yang menyergap ketika kita ada di dalam penantian. Mungkin itu tadi, kebingungan itu datang supaya kita dapat memilih—apakah kita akan terus menanti atau membuat hati kita berhenti menanti. Selanjutnya ada cinta yang begitu dalam yang saya rasakan ketika mendengarkan album ini. Pertanyaannya adalah sedalam apa kamu pernah mencintai seseorang? Jawabannya hanya kamu sendiri yang tahu. Bagi saya pertanyaan sedalam apa? akan dijawab dengan saya mencintai sampai saya tidak lagi mencintai. Rasa cinta saya habis—selesai hanya pada orang itu. Lalu yang tersisa adalah kesetiaan,  ketika menanti. Tak ada yang bisa dipegang. Selain setia. Percaya atau tidak, bisa jadi orang yang sedang kita nanti, tidak setia. Ia malah melakukan sebaliknya. Tapi setia kepada cinta itu sendiri, bukankah jauh lebih tinggi nilainya? Selanjutnya ketika mendengarkan album ini ada rasa marah. Marah kepada siapa? Marah kepada waktu yang tidak juga berpihak kepadamu. Marah kepada Tuhan sang pemilik waktu. Marah kepada diri sendiri yang ternyata tidak cukup sabar. Atau bisa jadi rasa marah itu datang begitu saja. Mengendap. Membuatmu hanya bisa diam berhari-hari. Selesai itu, segala sesuatu diselesaikan dengan damai.

Tesla Manaf Effendi, tidak hanya seorang musisi. Ia seorang pribadi yang ketika berkarya mampu menghadirkan pribadinya yang melankolis koleris ke dalam karya-karyanya. Ada emosi yang naik turun, seperti yang berusaha saya gambarkan di atas. Satu hal yang saya rasa sangat penting di dalam album ini yang patut kita apresiasi adalah : rasa cinta kepada Indonesia. Semangat yang coba ia tularkan untuk tetap setia kepada bangsa ini, walaupun sesekali ada ketidaksetiaan.

Ketika saya sampai di sini, saya membayangkan si gadis Bali tadi dengan kebaya kuning mencrangnya. Membawa sesajen di tangan kirinya, pergi ke pura terdekat dan berdoa untuk seseorang yang ia sebut sebagai kekasihnya bernama: Indonesia.



Beli albumnya ya teman, infonya silakan follow twitternya Tesla https://twitter.com/#!/teslamanaf :)



Thursday, November 17, 2011

Tuan Kecil Dan Nona Kecil






aku patung mereka patung
cangkir teh hangat namun kaku dan dingin
meja meja kayu mengkilap
wajahmu dibasahi air mata yang dilukis


***

Tuan Kecil yang bermimpi akan bertemu Nona Kecil. Sampai suatu hari di taman bermain yang telah dijanjikan si Tuan Kecil datang dengan setelan jas biru tua. Bunga tulip kuning di tangannya.

Di kejauhan tampak si Nona Kecil bangun terlambat. Karena semalam ia tak bisa tidur. Dengan gesit ia mandi lalu terburu-buru membuka lemari. Hendak pakai baju apa ya? pikirnya. Pilihannya jatuh ke dress kuning muda. Motif bunga merah kecil. Dengan sepatu boot, yang akhirnya menampung jari-jari mungilnya.

Si Nona Kecil pun berlari. Ia tak ingin Tuan Kecil terlalu lama menunggu.

Taman bermain itu kelihatan ramai. Banyak pengunjung mulai datang. Ada pasangan orang tua dan anak-anaknya. Ada para remaja. Ada juga opa oma yang duduk-duduk di bangku sekitar taman.

Nona Kecil kini telah sampai di tempat yang dijanjikan. Dengan kuncir di kepalanya terjuntai. Ia melihat ke kanan dan ke kiri mencari Tuan Kecil. Apa aku terlambat? pikirnya. Kalau Tuan Kecil sudah sampai duluan, ia pasti menunggu. Begitu kata hatinya lagi. Tidak lama kemudian ia duduk di atas rumput. Rumput yang wangi sehabis terkena hujan. Tak ada yang bisa dilakukan selain duduk dan menunggu. Pikirnya lagi. Sampai akhirnya Nona Kecil mengantuk. 

Senja kini telah turun, Nona Kecil terbangun dari tidurnya. Berapa lama ia lelap. Ia tak tahu. Yang ia tahu perutnya kini kelaparan. Ternyata ia tidur cukup lama. Dan setelah diingat-ingat lagi, tadi pagi ia tidak sempat makan apa-apa. Ah, mama pasti kuatir.

Duh, bagaimana ini, sebentar lagi taman bermain ini akan tutup. Aku belum juga bertemu dengan Tuan kecil. Lagi-lagi hati Nona Kecil gelisah. Ia bertemu dengan seorang ibu yang hendak berjalan ke arah pintu keluar. “Ah, kamu pasti Nona Kecil. Dari tadi Tuan Kecil menunggumu di sana.” Kata ibu itu sambil menunjuk ke arah carousel. “Terima kasih ibu.” Nona Kecil mengucapkan kata itu sambil berlari ke arah carousel.

Beberapa anak masih duduk-duduk di atasnya. Ikut berputar dengan lagu dari speaker yang cukup keras. “Itu dia!” Nona Kecil terpekik keras ketika melihat Tuan Kecil sedang duduk di atas salah satu kuda carousel yang tengah berputar. “Tuaaannn Keciiilll.. ini aku.” Nona Kecil melambaikan tangannya, berlari ke arah Tuan Kecil.

Terasa kuda-kuda carousel melambat. Lagu dari speaker mulai mengecil. Nona Kecil berlari menemukan Tuan Kecil di atas carousel. Memeluknya, mencium pipinya. Bunga tulip kuning di tangan Tuan Kecil tampak masih segar.

“Baiklah, Tuan Kecil, mari kita menulis mimpi..” Nona Kecil mengeluarkan lipstik merah yang sedari malam ia ambil dari meja rias mama. Dan mengeluarkan kertas putih dari dalam saku bajunya. 


“Kelak, aku ingin menjadi ibu.”

Ia menulis lima kata.

Tulisan sambung cakar ayamnya tampak tidak beraturan dengan ujung lipstik merah di tangan kanannya. “Nah, sekarang giliranmu Tuan..” Nona Kecil menyodorkan ujung lipstik dan kertas ke tangan Tuan Kecil yang  dari tadi diam saja. Tidak bergerak. Karena Tuan Kecil hanya patung di atas carousel.

Dago 349, 17 November 2011. 11:49.

*ini bukan review. Hanya cerita untuk Track ke-5 : DIORAMA dari Album Tulus. Track ini favorit saya. Kamu bisa beli albumnya dengan Info lengkap http://www.musiktulus.com/

Monday, July 25, 2011

ASA - Paquita







PAQUITA dengan album barunya seperti memberikan rongga di dalam dada. Seperti huruf Q yang hadir pada namanya. Tidak hanya lingkaran kosong, melainkan lingkaran kosong yang diberikan secuil garis, secuil kaki sekaligus sebagai penanda bahwa ada sesuatu yang mengikuti kehadirannya. Kemunculannya di tahun 1995 dengan lagu “Dua Manusia” seperti menyihir saya yang masih abege pada waktu itu untuk jatuh cinta, bukan hanya terhadap lagunya, penampilannya, tetapi kepada apa yang dia kerjakan.

Kini setelah enam belas tahun kemudian, ia tetap memesona. Album ASA yang dikemas dengan nuansa chill-out membawa saya duduk di sebuah lounge minimalis. Gaun putih tipis saya melambai. Lipstik merah menyala saya tersamarkan oleh remang lampu di dalamnya. Kemudian duduk di kursi ujung bar, menyisakan kursi kosong satu persis di sebelah saya seperti menunggu seseorang.

Pelayan kemudian datang membawakan sebundel menu. Mata saya lalu tertumbuk pada sederetan menu minuman yang tersedia: dalam kelembutan pagi, sudikah kamu, alam maya, tentang kita, melati suci, rintik hujan, terbunuh sepi, damai.” Persis di bawah nama minuman-minuman itu juga terdapat sebuah penjelasan singkat mengenai perasaan seperti yang nantinya akan datang ketika menyicip minumannya—meminumnya sampai habis.

Tentu saya penasaran. Saya memanggil pelayan lalu mulai memesan semua menu minuman tersebut. Pelayan itu tampak kaget. Sebelum akhirnya patuh, kembali ke balik meja bar untuk mengerjakan pesanan saya.


Kursi di sebelah saya masih tetap kosong. Lounge itu juga tidak terlalu penuh. Saya melirik handphone yang sedari tadi menyala, tidak ada tanda-tanda sms atau telepon. Mungkin dia terlambat.  Pikir saya. Padahal saya sendiri benci menunggu. Tapi sudahlah, bukankah itulah prinsip waktu. Ketika kita “menunggu” kita akan lebih menghargai makna “kedatangan.”

Pelayan itu telah kembali. Kini di hadapan saya sudah hadir delapan racikan minuman dengan warna-warni yang berbeda. Ia lalu menjelaskan mereka satu per satu. Saya tergoda untuk langsung menyicip melati suci, sekilas ujung lidah saya tidak merasa apa-apa. Tetapi ternyata ada gairah tersembunyi menyembul pada pertengahan dan akhir. Dengan rasa yang berubah-ubah. Seperti magical fruits, mengubah lidah saya yang tadinya asam menjadi manis. 

Saya lalu mencoba rintik hujan meneguknya dan merasakan cairannya turun ke dalam tenggorokan. Persis seperti meminum hujan, ada kesan tegas lalu dingin yang terpelanting kemudian menyisa sunyi panjang di akhir. 

terbunuh sepi, pun tak luput saya icip. Rasanya begitu misterius. Seperti langkah-langkah orang di ujung jalan gelap, sepi, mencari cahaya. Mencari peluk untuk pulang. Dan sepanjang jalan itu, ia menyimpan tanya. Tanya yang dingin. Yang belum tentu ada jawaban. Selesai menyicipnya, saya bergidik.

dalam kelembutan pagi. Begitu lembut.  Mengalir Seperti sinar kuning yang merambat ke sulur-sulur daun. Menyibak gordenmu perlahan. Membangunkanmu dengan rindu. sudikah kamu pun meninggalkan rasa tanya yang tidak terlalu tergesa. alam maya seperti membawamu terbang ke awan. Mengapung di dalam birunya. Begitu ringan. tentang kita, ada kesan waas ketika menyicipnya.  Kenangan lama yang hampir terlupa—diingatkan kembali. Lalu damai, seperti judulnya, ia menyisa damai. Seperti angin sepoi yang menyapu muka. Begitu tenang.

Saya menghabiskan semua minuman itu  dengan rakus. Kursi sebelah saya masih saja kosong. Ia tidak  datang. Kali ini saya tidak lagi menangis seperti waktu itu, ketika ia tidak datang. Mungkin belum waktunya, atau memang waktunya belum memilih saya.

Di luar lounge, tampak gerimis kecil turun perlahanan. Saya masih betah duduk di kursi itu—lebih tepatnya tidak mau pulang. Ingin terus menyicip ASA—yang adalah racikan istimewa disuguhkan oleh Paquita. Tidak biasa. Tidak juga sederhana. Kemewahannya justru tersembunyi ketika kau meminumnya perlahan, satu demi satu.

Mengulanginya kembali, lalu mabuk.

Dago 349, 23 July 2011. 12:57

Monday, May 16, 2011

Lirik

Mendengarkannya pada suatu pagi yang sibuk dan berpikir ini hanya soal waktu— semoga. 


“Every goodbye is leading to a new hello.” 



Monday, May 2, 2011

Turun Dalam Rupa Cahaya




Kali ini—saya mendengarkannya sambil duduk di kursi rotan putih reot, menghadap ke pohon buntung. Saya juga tidak tahu pohon buntung itu namanya apa. Hanya saja bentuknya seperti badan orang dengan tangan dan kaki tetapi tidak mempunyai kepala. Makanya saya menamakannya pohon buntung. Masih untung itu buntung bukan bunting. Bisa bahaya kalau bunting, saya juga pasti akan kebingungan mencari tahu siapa yang telah menghamili pohon itu.

Di luar sana mendung patah—hujan seperti ingin menangis. Rumput kedinginan dan poninya tak lagi berterbangan. Gelegar guntur begitu pilu di langit. Sementara angin dingin tidak peduli—mereka tetap menyusup sampai daging. Sweter merah saya bahkan tak cukup tebal untuk menutupi kebingungan—


Begitulah hidup—sepanjang hidup kita memang akan selalu bertanya. Tapi tidak setiap kali kita menemukan jawabannya. Atau mungkin sengaja kita tidak mau bertanya—jadinya kita hanya diam. Ah—tapi bukankah dalam diam pun sebenarnya sedang bertanya.

Tetap berakhir dengan kebingungan. Akhirnya muncul seperti ini bertanya dulu baru kemudian bingung atau bingung dulu baru kemudian bertanya. Untuk yang satu ini saya tidak bisa menjawab. Saya pun bingung.

Ini adalah album yang sudah saya putar berkali-kali. Saya tidak hafal semua judulnya, tapi saya tahu ketika siapa selesai dan sekarang giliran siapa yang hendak membuat bingung. Saya selalu tahu kalau setelah Preambule, Jalur Gaza, Pengantar Pesan Mimpi—berhenti di sini, memutar track-nya sekali lagi, dua kali, beberapa kali—lalu mulai menghapal. Bisa jadi saya adalah gadis yang diceritakan di dalam lagu itu. Lalu dikejutkan dengan Lonely When I’m Better—berjoget dengannya—dilanjutkan dengan Kupu-kupu Besi yang misterius. Kemudian Noise Never End Honey, I’ll take you, to the trees that never stop to move. Where the long neck body with the light luminescence, it never speaks. Silent among the sun. Dari semua track, ia favorit saya. Pernah di suatu subuh, karena tidak bisa tidur saya hanya memutar track ke-tujuh ini berulang-ulang—menangis lalu tidur dengan mata bengkak. Ia akan mengantarkanmu kepada sunyi.

Belum sampai di situ masih ada Ray Manzarek, From the Eyegelap sontak menjadi benderang. Puluhan lingkaran kecil bergerak acak dan berputar. I swept the darkness tears, from the eye. Mungkin lirik ini adalah gambaran dari kebingungan yang saya maksudkan dengan kebingungan di atas. Solving Labyrinth—semacam ingin membuat penjelasan. Lalu Asmaradhana bukan penutup, ia adalah bonus track. Jadi ini hanya kesimpulan dungu saya: hidup yang membingungkan itu bonus.

Tapi ijinkan saya untuk mengatakan ini, kebingungan akan membuatmu berpikir—lalu ada kecerdasan baru yang kemudian akan kamu temukan di sana. Temukan kebingungan sekaligus kecerdasan baru ketika kamu mendengarkan album ini.

Dago 349, 1 Mei 2011. 16:54.

*Tulisan ini dibuat untuk (semacam) mereview Album Turun Dalam Rupa Cahaya oleh Airport Radio. 

Wednesday, April 20, 2011

Kinanti.





Kinanti lama tak pulang.

Sepatu kuda dan dokar menunggu. Bapak tak lagi berangkat ke sawah. Ibu tak lagi menanak nasi seperti biasa. Pekarangan dan desa tiba-tiba sepi—tak ada lagi yang bernyanyi setiap pagi dengan rambut ekor kuda.

Tak ada lagi yang rajin menangkap embun dan menyimpannya berhari-hari di dalam botol. Tak ada lagi yang menyalakan lampu teplok. Bermain-main dengan kunang-kunang. Tak ada lagi yang bercerita kepada kawan-kawannya tentang tidur di langit dan mencium bintang.

Ah, kinanti. Kau gadis mungil nan lucu. Senang sekali bermain petak umpet sampai malam-malam. Sesekali menangkap kodok di sawah. Layanganmu kini hanya tergantung di atas ruang makan mungil itu.


Celengan ayammu bahkan masih berdiri dengan angkuh di atas meja kamarmu. Menabung tiap hari, seperti katamu, supaya kaya. Menabung tawa dan kebaikan. Begitu katamu waktu itu sambil tertawa dengan lesung di pipi kirimu.

Kinanti yang pelamun. Suka sekali duduk berjam-jam di dekat jendela. Melihat ke kolam depan jendela—menatap mata beningnya sendiri. Mengobrol dengan ikan-ikan, anehnya ikan-ikan itu seperti mendengarkannya. Kolam itu begitu tenang.

Kinanti bukan gadis asing. Kau akan mudah mengenalnya. Kau akan senang mendengarkan ia bercerita—ia suka sekali bercerita sambil bersenandung—senandung yang akan buatmu seperti dininabobokan, tetapi tidak mengantuk—ingin mendengarkan lagi dan lagi. Kau akan mengharapkan gadis itu menghantarkanmu ke dunia mimpi.

Terus bercerita dengan bibir mungilnya tentang Psycho girl, Destiny, Zsa Zsa Zsu, Polypanic room, dan Kinanti dirinya sendiri. Telingamu pasti tidak akan lepas darinya—mulutmu terkatup, sesekali hanya bisa senyum kecil karena melihat matanya yang begitu jenaka.

Tapi sesekali, kamu akan sedikit terisak dengan kesedihan yang ia bagi. Bercerita Polypanic room—kembali mendengarkannya berulang-ulang, terkesima, merasa sesuatu sedang menggelitiki ujung matamu. Menemukan makna di balik dentingnya—di balik bening mata Kinanti.

Bapak dan Ibu kini kangen, Kinanti. Rindu cerita-ceritanya. Apa kabar gadis itu sekarang? tanya mereka dalam hati. Tak berani saling menatap. Nanti mata mereka saling berembun. Jadi Bapak dan Ibu hanya duduk bersebelahan—saling melekatkan punggung tangan mereka.

Dago 349, 20 April 2011. 01:07, dini hari.

*menulis untuk review Album Katjie & Piering. Mari download albumnya, berisi lima track dan dengarkan bening denting mereka di sini :)


Thursday, December 23, 2010

"Au Revoir"

(Silent Bells, Silver Night solemn christmas hymns, a christmas mixtape by dimas ario berisi 14 track dapat diunduh di sini)


Mendengarkan lagu-lagu yang ada di Christmas Mixtape-nya Dimas Ario, membawa saya duduk di dalam gerbong kereta yang gelap. Sementara di luar hujan rintik-rintik – butirnya sebagian jatuh di jendela. Sebagian lagi terjun dengan bebasnya ke dedaunan.

Kursi di dalam gerbong itu berwarna kecoklatan, ada beberapa kecoak yang bolak-balik di kaki saya. Selain itu ada semacam kumbang kecil—saya tidak tahu namanya apa, lalu lalang di lorong-lorong gerbong. Saya tidak bawa apa-apa, hanya ada semacam buku bacaan yang ada di pangkuan, setelah saya ingat lagi, itu adalah buku The Alphabet Sisters yang belum selesai saya baca.

Dari jendela kereta, sore semakin menua—hari mulai berganti kulit. Kereta, tiba-tiba berhenti di suatu tempat. Banyak laki-laki dan perempuan tua, mereka bergerombol masuk dan memenuhi gerbong saya. Setelan mereka vintage, hitam-hitam—lalu mulai berdansa, berpasang-pasangan.

Kulit mereka tampak pucat tapi tetap ada senyuman mengembang di pipi mereka. Sesekali mereka mengangkat sloki-sloki kecil berisi anggur tinggi-tinggi, lalu mengucapkan sesuatu keras-keras. Semacam mengucapkan “Au revoir”— ya, kata itu diucapkan keras-keras.

Lalu mereka tertawa-tawa kencang sekali.  Mendadak gerbong saya riuh sekali.

Tidak lama kemudian seorang perempuan tua, menghampiri saya dan menawari saya satu sloki anggur, lalu mengucapkan “selamat natal”. Saya membalasnya, mengucapkan terima kasih, lalu meneguk minuman  itu perlahan-lahan.

Ketika saya hendak bertanya, kenapa mereka mengucapkan "Au Revoir", perempuan itu telah pergi—lalu hilang.

Ah, bahkan saya lupa kalau malam ini adalah malam natal. Saya coba melongok keluar jendela, merasakan dinginnya angin malam di muka saya. Melihat ke langit, mencoba mencari bintang. Lalu saya menemukan hanya satu bintang, pelit sekali langit malam ini—pikir saya.

Tak apa, bisa jadi bintang itu semacam disuruh untuk menemani saya malam ini. Bunyi jeruji dan gesekan di rel terdengar semakin lama-semakin pelan. Kini, kereta saya tiba di suatu tempat. Saya turun, menoleh ke belakang— 
tidak ada lagi pesta kecil, tidak ada lagi gerombol orang tua yang berdansa tadi.

Gerbong kini kosong—sunyi. Sayup-sayup saya mendengar lonceng di kejauhan. 
Selamat hari natal, selamat tinggal gelap-- Au Revoir. 

Tuesday, December 21, 2010

It's Over Now

pic from here

(dapatkan juga informasi tentang Bonita di sini)  

Pada suatu masa, di suatu sore. Ketika saya sedang merasa kehilangan, saya mampir di sini.  Tobucil bagi saya adalah seperti rumah untuk menemukan sesuatu. Sesuatu itu mungkin adalah lagu—lagu yang kemudian mengisimu.

Teman saya Wikupedia, sedang menyetel sebuah lagu. Lebih tepatnya lagi sebuah Album yang begitu cantik dari Bonita. Kenapa saya bilang cantik, karena terus terang saya suka dengan cover albumnya—selanjutnya ada satu track lagu yang begitu menarik perhatian saya.

Lagu It’s over now.

Entah kenapa lagu ini langsung saya putar berulang-ulang ketika itu. Kini—beberapa bulan kemudian. Saya merasakan kehilangan yang sama. Kehilangan yang rasanya sengaja—saya sengaja menghilangkan sesuatu. Tapi, tidak mau juga diisi oleh yang lain.

Lalu saya teringat kembali akan lagu ini. Mendengarkan lagu ini kembali, seperti mengajak saya melepaskan sesuatu dengan kesenangan. Seperti membuat saya belajar menghilangkan sesuatu tanpa beban.

Mendengarkan lagu ini membawa saya ke pantai, mengenakan bikini oranye. Duduk dengan minuman berwarna saya di gelas tinggi. Selonjorkan kaki panjang-panjang, lalu menikmati semilir angin. Dengan topi lebar saya ujungnya terbang-terbang.

Mungkin topi saya juga bergembira, saya telah melepaskannya. Sementara di kejauhan ada gulungan ombak, tidak terlalu besar. Cukup untuk melihat lautan biru yang super luas—merasakan kedipan langit yang jernih. 

Ah lalu setelah menikmati minuman saya, ada es krim rum kesukaan saya yang kini saya habiskan. Saya menjilati es krimnya pelan-pelan—seakan tidak ada hari esok. Melepaskan, kehilangan—lalu tidak mau buru-buru diisi.

Mendengarkan lagu ini, ada perasaan leluasa seperti biru di kejauhan. Ada jernih seperti langit, perasaan saya bergelombang tinggi—ini adalah perasaan melepaskan yang menyenangkan. Saat ini kalaupun saya sedang merasakan kehilangan yang sama, lagu ini cukup menguatkan saya untuk melepaskan—lalu tersenyum.

Begitu saja, selamat melepaskan—kali ini saya melakukannya dengan senyuman. Nikmatilah bikini oranyemu hari ini.


Monday, December 20, 2010

Swing and Jingle

pic from here


(feel free to Download 'N Enjoy @leonardo_music New Christmas Single "Swing and Jingle" here)

Kadang kau ingin lari dari kesibukan di hari Senin, lalu pergi ke pesta dan berdansa. Mendengarkan lagu Leonardo membawa saya kesana. Seperti sedang ada di arena dansa. Saya dengan gaun backless sematakaki, lalu menari dengan kaki-kaki lincah mengikuti irama. Saya ada di bawah sorotan lampu-lampu warna, sendirian menggoyangkan badan tak peduli ada yang melihat.

Banyak orang yang berdiri di sekitar saya seperti mencibir, mereka ingin masuk ke dalam arena. Tapi terlalu terintimidasi dengan gerakan saya yang begitu lihai. Saya bahkan sampai lupa kalau ini adalah lagu Natal. Ah, Natal itu untuk siapa saja bukan?

Natal mungkin untuk saya. Untuk mereka. Untuk siapa saja yang mungkin tidak percaya kepada Natal. Terserah, yang penting saat ini saya tidak berhenti menghentakkan kaki. Yang penting saat ini saya tidak berhenti menggoyang-goyangkan kepala saya ke atas dan ke bawah.

Semangat di lagu ini seperti meloncat—menusuk batas antara agama dan bersenang-senang. Tidak ada kesenangan dalam agama. Oleh karena itu saya pilih untuk bersenang-senang saja. Ada kegembiraan—begitu panjang yang terdengar di lagu ini.

Saya merasa bebas untuk bergerak, saya merasa bebas untuk memilih, bahkan saya tidak terlalu peduli ketika gaun saya robek—waktu sedang menari. Biarkan saja, sesuatu yangg terlalu mengekang itu tidak baik—robek saja.

Tidak ada batas yang mengikat. Tidak ada tembok yang menjarak. Tidak ada benteng yang terlalu tinggi. Ketika mendengarkan lagu ini, yang ada di pikiran saya adalah berdansa dan berdansa. Berputar dan meloncat-loncat di arena—sendirian.

Sampai orang berpikir saya orang gila, tidak apa toh saya gembira. Bukankah Natal untuk semua?—lebih dari sekedar perayaan agama. Jadi berdansalah.




Mungkin sepi hanya perjalanan

didedikasikan kepada: Kembali Sepi – Buat Gadis Rasid, di sini

Ini bukan review. Ini hanya tulisan pendek yang coba saya buat kepada teman musisi favorit saya. Salah satunya adalah Galih Su atau yang biasanya kita kenal dengan nama Deugalih.

Mendengarkan lagu Galih adalah membawa saya kepada perjalanan. Menelusuri sungai panjang, hanya ada batu-batu besar, gemericik air, angin yang bertiup di muka.

Yang didengarkan adalah sepi. Lalu, saya duduk dengan kopi, kemudian mulai mendengarkan diri saya sendiri. Perjalanan panjang itu kemudian menghentikan saya kepada bongkahan yang ada di hati saya sendiri. Alih-alih hendak berjalan mendekat kepada bongkahan itu. 

Tapi saya terlalu takut. Saya tidak berani mendekat. Saya melihat ke arah kiri dan kanan, tidak ada siapa-siapa kok, kenapa musti takut. Tangan saya gemetar, ketika hendak menyentuh bongkahan di hati saya. Cukup keras—lalu kini saya melihat saya sudah membuka kertas pembungkusnya perlahan.

Bibir saya mulai bergetar. Mata saya basah—sedikit. Terus terang, saya agak malu kalau kedapatan menangis. Jadi saya buru-buru menghapus air mata saya sebelum mereka jatuh menyatu dengan aliran sungai. Larut lalu mengalir. Terseok-seok sedikit dengan batu-batu sungai tapi tetap mengalir.

Bongkahan itu kini terlihat. Saya melihatnya dengan jelas. Telinga saya mendengarnya dengan jernih. Tak ada pemisah lagi diantara saya dengannya. Pelan-pelan saya memeluk bongkahan itu, entah kenapa saya begitu pengecut meninggalkannya sendirian selama ini.

“Brengsek!”

Kata itu keluar perlahan dari bibir saya. Tiba-tiba saya sadar satu hal, bongkahan itu bukan benda asing—atau punya orang lain. Itu punya saya sendiri. Kemudian saya memeluknya erat. Lalu mulai menangis sekencang-kencangnya.

ooo tenang.. ujarmu tenanglah

Sepenggal lirik dari kembali sepi. Menguatkan saya. Begitu sejuk mengalir perlahan di pipi. Saya mulai memberanikan diri untuk berdiri, memasukkan kaki saya ke air sungai yang dingin. Dinginnya menerpa telapak kaki saya yang telanjang.

antara daun daun hijau, padang lapang dan terang
anak anak kecil tidak bersalah

Sepucuk lirik dari lagu Buat Gadis Rasid, mengangkat muka yang tertunduk untuk sedikit menghela nafas lalu menghirup udara. Kini saya biarkan memenuhi paru-paru saya, membelai sedikit bongkahan, yang masih ada—tidak lagi tersesat. Mungkin sepi hanya perjalanan. 

Kopi saya habis, saatnya saya pulang.

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...