Showing posts with label bakul buku. Show all posts
Showing posts with label bakul buku. Show all posts

Wednesday, September 24, 2014

Review Buku Dunia Simon
















Satu buku ini saya temukan ketika sedang nongkrong di Tobucil. Lalu ada beberapa stock buku yang baru datang. Salahsatunya adalah buku kumpulan cerita pendek yang ditulis oleh Wihambuko Tiaswening Maharsi.

Dunia Simon berisikan cerita-cerita pendek yang membahas kebanyakan mengenai keseharian perasaan perasaan perempuan. Saya senang dengan cara menulis Tias. Ia menghadirkan perasaan perasaan gamang seorang perempuan dengan caranya, tanpa malu-malu.

Sesekali, saya merasa saya adalah perempuan yang dimaksud di dalam cerita-cerita Tias. Ada sebuah cerita yang menjadi favorit saya yaitu ketika seorang perempuan bertemu dengan seorang laki-laki di dalam kereta, saling melirik, dan saling melemparkan pesan melalui mata.

Saya sepakat dengan Tias bahwa hal-hal seperti ini seringkali terjadi. Bertemu manusia-manusia stranger hampir setiap hari di dalam kehidupan kita, kebanyakan hanya berpapasan, kebanyakan bertemu dan saling melihat tiak lebih dari limat menit, ataupun duduk di dalam kereta bersama selama beberapa jam, lalu saling mengirimkan pesan.


Cara Tias bertutur terkadang merepet, tetapi terkadang ia menahan banyak. Hal ini yang membuat buku kumpulan cerita pendek ini menarik untuk dilahap. Sebaiknya membaca buku kumpulan cerita pendek ini dengan ditemani secangkir kopi hitam, sesekali disesap lalu dikulum sebentar di dalam mulut baru kemudian ditelan. Demikian juga sensasi membaca buku ini. Ah, ilustrasi di buku Dunia Simon juga menarik sekali. 

Friday, August 29, 2014

Mochtar Lubis, Manusia Indonesia (sebuah pertanggungan jawab)









Apalah saya jika harus menulis tentang Mochtar Lubis. Saya menemukan bukunya pada rak buku di kineruku, tempat saya biasa meminjam buku. Sebuah buku kecil, dengan warna halaman yang sudah mulai kekuning-kuningan, dan ada beberapa halaman yang sudah hampir copot dari bukunya.

Saya membacanya dan menemukan semua pemikiran yang cerdas yang diutarakan Mochtar Lubis dari awal sampai akhir. Saya tidak dapat menemukan kata lain selain cerdas. Saya tidak heran ketika menemukan bahwa, ia belajar beberapa bahasa secara otodidak. Tidak hanya itu kemampuan jurnalistiknya juga ia peroleh secara otodidak. Lubis punya kecerdasan di dalam darah.

Selain itu ia begitu lugas. Ia tipe orang Sumatra yang berbicara tidak bertele-tele, dan menyampaikan apa yang ia yakini dengan sangat lurus. Membaca Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia (sebuah pertanggungan jawaban) ada 3 perspektif yang saya dapatkan:

1. Mesin Waktu. Ada hubungan yang cukup akurat ketika ia menulis buku ini di tahun 1977 dan masih terasa relevansinya di tahun 2014. Saya membaca tulisannya lalu di dalam hati ada jawaban “Ya” dengan lantang. Bahwa saya setuju dengan sudut pandangnya tentang generasi muda pada jaman itu, dan juga terhubung dengan generasi muda jaman sekarang. Saya merasa bahwa, jangan-jangan, kami generasi muda Indonesia, tidak bertumbuh. Jangan-jangan, kami generasi muda Indonesia, hanya mengulang pola leluhur  kami, yang bermalas-malasan, ongkang-ongkang kaki, tidak punya daya tahan, tdiak punya daya juang, mau enaknya saja, mau sukses, tetapi lupa bekerja keras. Saya takut bahwa jangan-jangan kami generasi muda Inonesia memang tidak kemana-kemana, kami mengatakan diri kami “keren” padahal sungguh kami ini hanya sampah yang suka “memegahkan” diri sendiri.

2. Membongkar pencitraan. Ia juga membongkar wajah kami generasi muda yang sebenarnya. Ketika saya membaca buku ini, saya juga mendapatkan kesan bahwa, sebenarnya tulisan ini dikhususkan untuk kami, generasi muda pada jaman ini, yang senang bermain sosial media, dengan memamerkan segala “keberhasilan” kami yang fana di path. Mengunggah foto-foto perjalanan kami di facebook, atau menuliskan status-status “absurd” di twitter demi pencitraan, juga dalam rangka mendapatkan jumlah “follower”  atau memosting quotes di instagram, tanpa penghayatan yang dalam terhadapnya. Sungguh kami ini babi-babi licik.

3. Pada halaman 88. Ada poin ke-3, ia menulis bahwa: ...”kita melihat betapa perlunya kita belajar memakai Bahasa Indonesia secara lebih murni, lebih tepat dalam hubungan kata dengan makna, yang mengandung pengertian, kita harus belajar menyesuaikan perbuatan kita dengan perkataan kita.” Sesungguhnya ketika membaca bagian ini, saya langsung ingat bahwa saya adalah generasi muda kekinian yang sudah lupa kepada seni percakapan mata dengan mata, daging dengan daging, membaui lawan bicara saya, karena percakapan kita sudah semakin minim, melalui email, sms, chat, whatsapp. Bahwa kami adalah korban teknologi yang kemudian mengubah kami menjadi robot. Tidak hanya robot, kami juga suka menggunakan bahasa Inggris. Padahal kami lupa bahwa Bahasa Indonesia cukup keren.


Intinya, jika kamu generasi muda yang kekinian. Kamu harus baca buku ini. Saya percaya jika Mochtar Lubis adalah orang Maluku, ia akan menulis begini: Generasi muda itu musti banyak baca buku. Jang pambodok macang karbou! (Jangan bodoh seperti kerbau!)  

Sunday, August 24, 2014

Kenapa Membaca Buku Anak-anak Selalu Menyenangkan










Adalah sebuah kisah percintaan antara seekor tikus dan seorang Putri, Pea namanya. Saya membayangkan pada suatu hari Desperaux dan Pea duduk-duduk pada sebuah taman, lalu Desperaux memberikan bunga kepada Pea, kemudian mencium tangannya dengan penuh cinta. Lalu mereka mulai menceritakan petualangan petualangan apa yang akan mereka lakukan.

Tapi tentu saja, kisah yang sebenarnya harus kamu baca sendiri. Saya tidak suka spoiler. Saya hanya akan menuliskan kepadamu apa yang saya rasakan ketika membaca buku ini. Saya akan membagi perasaan-perasaan saya kepadamu: 

(1) Saya sedang bosan dengan cerita-cerita orang dewasa. Cerita anak-anak, dalam beberapa hal sangat menarik bagi saya. Alasannya sederhana: di dalam jiwa saya dan kamu ada anak kecil yang tidak pernah dewasa. Dalam rangka itulah saya ingin memelihara jiwa anak-anak di dalam saya.

(2) Ada kalanya percintaan orang dewasa begitu membosankan. Menurut Haruki Murakami, tidak perlu menciptakan tokoh laki-laki dan perempuan di dalam ceritamu. Karena, disengaja maupun tidak disengaja, tokoh laki-laki dan perempuan itu akan bercinta tanpa disuruh. Itu memang sudah semestinya. Yang membosankan adalah ini, cerita orang dewasa, laki-laki dan perempuan akan berakhir dengan bercinta. Sedangkan cinta anak-anak, tidak. Mereka murni. Mereka ingin melakukan sesuatu kepada pasangannya tanpa ada embel-embel “tempat tidur” pada akhirnya. Itulah yang dilakukan Desperaux kepada Putri Pea.

(3) Saya selalu menyukai petualangan. Di dalam diri setiap anak ada jiwa petualangan. Sedangkan orang dewasa, jiwa itu seakan menciut. Tidak ada lagi rahasia bagi orang dewasa. Tetapi bagi anak-anak, selalu ada rahasia, selalu ada petualangan.


Lalu saya akan mengakhiri tulisan ini dengan bukankah cinta itu adalah sesuatu yang kuat, indah, sekaligus konyol. Tentu saja Desperaux dan Putri Pea tidak akan menikah. Lagipula, mana mungkin seekor tikus akan menikahi seorang putri, seorang manusia. Anak-anak pun akan mengerti itu. Selamat membaca! 

Wednesday, August 20, 2014

Membaca Dongeng Ayu Utami






Beberapa buku yang tidak boleh dilewatkan adalah seri Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, Lalita, dan Maya. Dongeng dan Ayu Utami seperti tidak terpisahkan. Kesukaan saya akan mitos seperti mendapatkan “ruang.” Ayu yang pandai bercerita selalu menimbulkan kegemaran saya berimajinasi tentang Jawa dan hal-hal eksotis lain di sekitarnya.

Beberapa hal yang saya catat dari tulisan-tulisan Ayu adalah pertama ia selalu menjadikan apa yang dianggap orang tidak indah, menjadi sesuatu yang indah. Apa yang tidak dipandang oleh orang lain, menjadi dipandang. Apa yang tidak berharga, menjadi berharga. Ia mendadak seperti Yesus, selalu memilih apa yang hina bagi dunia dan menjadikannya mulia.

Hal ini menjadikan karya Ayu layak dibaca, karena ia tidak pernah ikut ramai. Apa yang cantik baginya, bisa jadi tidak bagi kebanyakan orang. Apa yang indah baginya bisa jadi tidak indah bagi kebanyakan orang. Tetapi ia tidak peduli. Justru di situlah yang membuat ia menonjol. Dengan karakter-karakter yang dibangun berdasarkan rasa keterbelakangan. Jadi setiap orang yang merasa “berbeda” mendapat tempat.

Kedua. Kekuatannya membangun sebuah cerita. Saya selalu mengibaratkan penggalan kata yang ada di dalam halaman-halaman novelnya terbuat dari putih telur, yang konon itulah yang melengketkan batu-batu yang menjadi sebuah candi. Mereka begitu kuat. Sehingga bertahan berabad-abad. Kekuatannya justru terlihat pada dasar bangunannya. Sebelum melihat kepada bumbungan dari bangunan tersebut.

Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, Lalita, Maya, hanya sebagaian kecil dari rasa kokoh itu. Sampai akhirnya kita akan dikejutkan lagi dengan seri-seri lainnya. Selamat menunggu!


Tuesday, June 17, 2014

Membaca Rahasia Renjana






gambar dari googling. 




Membaca Rahasia Renjana, Prita Prawirohardjo hanya dalam semalam. Saya begitu hanyut. Satu dari beberapa cerita itu adalah saya. Membaca Rahasia Renjana seperti membaca diary, diary hati. Terasa atau tidak, setiap hati kadang terlanjur menyimpan rahasia. Hati seperti dipaksa untuk “menyembunyikan.” Lalu apa rahasiamu?

Rahasia Renjana tidak hanya menyuguhkan cerita, tetapi rasa. Setiap kita diajak untuk turut icip setiap rasa yang ada. Rasa jatuh cinta, kehilangan, melepaskan, menyembunyikan. Semuanya dirasakan dengan jujur. Toh makna jujur dalam hal ini adalah bukan kepada orang lain melainkan ke diri sendiri. Seperti anak remaja, menulis diary dengan kode-kode lalu digembok. Seperti itulah Rahasia Renjana akan membuatmu menebak segala teka tekinya.

Ketika membaca Rahasia Renjana, saya teringat kata “punggung.” Sesuatu yang terletak di bagian belakang tubuh manusia ini, adalah penumpu tubuh. Tetapi dengan hanya melihat punggung, itu bisa membuat seseorang jatuh cinta. Lainnya, punggung juga bisa bercerita tentang rahasia. Rahasia ada yang disimpan, tetapi ada juga yang dibagi. Dibagi kepada siapa, tentunya dengan orang dekat. Bukankah hanya orang dekat yang biasanya mampu melihat punggung kita dengan jelas. Dan bahkan tahu setiap jerawat yang tumbuh di sana.

Rasanya Prita seperti mengajak saya bukan untuk melihat punggung saya. Tetapi melihat punggung orang lain. Melihat punggung orang dekat saya. Tempat di sana saya pernah jatuh cinta, memeluk punggungnya dari belakang, kemudian melepaskannya perlahan. 


[silakan dapatkan buku Rahasia Renjana di http://nulisbuku.com/books/view_book/5598/rahasia-renjana dan follow Prita Prawirohardjo di @prita165]

Friday, March 15, 2013

Because of Winn-Dixie




“Tapi kadang-kadang hal-hal begitu menyedihkan sehingga terasa lucu.” Ini adalah sebuah kalimat yang dari Gloria Dump kepada Opal. Laki-laki kecil yang berteman dengan seekor anjing.

Anjing itu diberi nama Winn-Dixie. 

Winn-Dixie adalah anjing yang begitu cerdas. Opal menemukannya pada sebuah toserba yang ada di kota itu. Anjing itu seperti sebuah penanda bahwa: sebenarnya di dalam hidup ini manusia itu tidak pernah kesepian.

Bahwa manusia selalu bisa menemukan apa saja yang bisa menemaninya. Opal punya seorang Ayah, dan ia adalah seorang pendeta. Dan pada buku ini diceritakan bahwa Opal dan Ayahnya ditinggalkan oleh Mamanya ketika Opal masih kecil sekali.

Ketika itu Opal pernah bertanya kepada Ayahnya, bahwa bisa sebutkan sepuluh hal yang bisa diingat oleh Ayahnya tentang Mamanya. Dan setelah Ayahnya menjawab, Opal kembali ke kamar untuk menulis sepuluh hal tersebut. Dan menghafalnya.

Dengan niatan bahwa suatu hari nanti, ketika ia bertemu dengan Mamanya, ia bisa mengenalinya.

Tetapi Winn-Dixie hadir dengan sebuah tujuan. Ia membawa Opal untuk bertemu dengan banyak orang. Ia membawa Opal untuk mengenal dan akhirnya menjadi teman yang baik kepada beberapa orang. Ada Gloria Dump, Miss Franny, Amanda, Otis, Dua bocah dari kelarga Dewberry.

Mereka akhirnya membuat sebuah pesta. Tadinya pesta itu rencananya akan diadakan di halaman rumah Gloria Dump tapi ternyata hujan turun begitu derasnya. Dan Winn-Dixie hampir hilang.

Banyak sekali bagian-bagian dari buku ini yang membuat saya sedu sedan perlahan.

Banyak sekali bagian-bagian dari buku ini yang membuat saya sedu sedan perlahan. Karena terkadang saya merasa kesepian seperti Opal. Dan sering juga saya merasa bahwa merindukan seseorang itu seperti kita selalu menekankan lidah kita pada bagian kosong bekas gigi kita yang telah dicabut.

Dan ketika itu saya ingat kembali kata-kata Gloria Dump kepada Opal “Tidak mungkin kau bisa menahan sesuatu yang ingin pergi, kau mengerti? Kau hanya bisa menyayangi apa yag kaumiliki selama kamu memilikinya.”


Wednesday, March 6, 2013

Tuesdays With Morrie





Namanya Morrie. Ia bukan Kakek saya. Tapi saya suka kepadanya. Saya suka caranya bercerita. Saya suka memperhatikan ketika Morrie sedang bercerita tentang hal-hal yang menyangkut tentang hidup.

Kita bertemu setiap hari Selasa. Dan setiap hari Selasa itupun Morrie selalu bercerta tentang hal-hal yang mungkin tidak bisa saya temukan dari orang lain.

Satu ketika Morrie pernah bercerita kepada saya tentang kematian, ia mengatakan bahwa “begitu kita ingin tahu bagaimana kita akan mati, itu sama dengan belajar tentang bagaimana kita harus mati.”

Kalimat-kalimat ini sangat dalam. Kita tidak pernah tahu kapan kita mati. Tetapi menjalani saat-saat hidup saya yang sekarang. Ada baiknya untuk saya lebih berhati-hati dengan pilihan-pilihan saya untuk terus hidup.

Morrie juga bercerita tentang nilai. Bagaimana di dalam hidup kita harus punya nilai-nilai. Nilai-nilai ini harus kita bentuk sendiri. Bukan karena dibentuk oleh orang lain atau lingkungan sekitar kita.

Dan saya setuju. Sulit sekali untuk hidup di jaman sekarang dan tidak memiliki nilai yang kita yakini lalu menjalaninya. Karena jaman tidak akan memberikan sebuah nilai yang baik. Sayalah yang harus membentuknya.

Pada hari saya berteu lagi dengan Morrie, ia bercerita tentang keluarga. Ia mengatakan bahwa keluarga adalah sebuah landasan yang kokoh. Bayangkan kalau ia tidak punya keluarga, bagaimana ia menanggung semua yang ia rasakan pada saat ini.

Saya sendiri memperhatikan bagaimana Morrie berinteraksi dengan kedua anak laki-lakinya. Rob dan Jon. Morrie tidak pernah segan-segan untuk menyatakan bahwa ia sangat menyayangi mereka. Dan ia menunjukannya.

“Pengalaman punya anak itu tidak ada bandingannya. Dan itu tidak bisa digantikan oleh apapun. Walaupun saya harus dibayar mahal untuk itu.” Ujar Morrie.

Saya setuju. Saya belum punya anak. Saya sedang berpikir untuk menikah. Dan Morrie mengajarkan pengalaman tentang anak yang sangat luar biasa kepada saya. Mungkin suatu saat nanti ketika saya punya anak, paing tidak saya sedikit belajar untuk tidak segan-segan menunjukkan rasa sayang kepada mereka.

Begitupun dengan pernikahan, Morrie mengatakan kalimat-kalimat yang bagus sekali:
There are a few rules I know to be true about love and marriage: If you don't respect the other person, you're gonna have a lot of trouble. If you don't know how to compromise, you're gonna have a lot of trouble. If you can't talk openly about what goes on between you, you're gonna have a lot of trouble. And if you don't have a common set of values in life, you're gonna have a lot of trouble. Your values must be alike.

Oh Morrie yang baik. Saya bisa melihat kerut-kerut di wajahnya. Gerakan tangannya yang sudah semakin lemah. Dan kakinya yang sudah semakin kurus. Ia selalu suka duduk di dekat jendela. Dan melihat ke arah luar, dengan pemandangan kembang sepatu yang ada pada potnya.

Ia sangat menghayati pemandangan itu. Pemandangan sederhana. Yang membuat saya masuk ke dalam berbagai pengalaman-pengalaman yang sangat dala tentang kehidupan.

Morrie akhirnya meninggal. Dan dimakamkan tepat pada hari Selasa.

Morrie bukan Kakek saya. Tapi saya cuma mau bilang: Terima kasih Morrie untuk mengajarkan saya banyak hal tentang hidup. 

Friday, October 12, 2012

Menuju(h)



Menuju(h) akhirnya. Silakan beli di toko-toko buku terdekat. Sampulnya cantik banget. Dan semoga hari-hari di dalamnya, juga setia kepadamu.


love. 

Sebelum Hari Ketika Hujan Mati



Sepenggal tulisan saya di Menuju(h). Judulnya Sebelum Hari Ketika Hujan Mati. Jangan lupa beli bukunya teman :) 

Tuesday, June 19, 2012

[Semacam Ulasan] Buku Ruang Temu, Maradilla: antara denting dan rahasia






Akhirnya membaca Ruang Temu. Remake dari Turiya. Pada dasarnya saya tertarik dengan tokoh perempuan yang absurd. Itulah mengapa saya jatuhsayang terhadap Dwayne pada buku sebelumnya Turiya. Ketika mendapat kabar bahwa Turiya akan di-remake oleh Bukune, terusterang ada kekuatiran Turiya akan menjadi populer dan lupa pada destini awalnya, ia bukan chicklit.

Tetapi kekuatiran saya akhirnya tidak terbukti. Setelah berkenalan dengan Ruang Temu, saya menemukan Deanna. Mielka. Rajasa. Gilang Ayu. Mereka ini merupakan kloningan dari Dwayne. Milo. King. Fro. Dan saya tidak akan membandingkan Ruang Temu dengan Turiya. Karena mereka adalah bayi yang berbeda. Saya percaya bahwa setiap karya punya sentuhan personalnya sendiri. Dan kita harus menghargai sentuhan personal tersebut sebagai sebuah pertumbuhan.

Terus terang saya kehilangan Dwayne pada diri Deanna. Perpaduan perempuan manis dan absurd yang membuat saya mencintainya entah kemana. Seperti hilang begitu saja. Tapi mungkin itu adalah karakter Deanna. Ia ingin terlepas dari bayang-bayang Dwayne. Dan ia ingin memenuhi karakternya sendiri. Saya menarik kesimpulan Deanna adalah versi Dwayne dewasa. Dwayne yang telah bertumbuh.

Mielka alias Milo. Tipe laki-laki kesukaan saya. Saya selalu jatuhcinta terhadap laki-laki model begini. Tetapi hanya sebatas jatuhcinta. Dan mungkin saja saya akan memilih menikah dengan Rajasa alias King. Karena terkadang kamu membutuhkan orang yang lebih dominan daripada dirimu. Dan bisa jadi mereka adalah pelengkap.

Membaca Ruang Temu di awal seperti banyak yang meloncat di kepala saya bahwa “ini seharusnya begini” “ini bukan begini” “ini terlalu cepat” dan saya meyakini bahwa pemikiran ini datang karena pada dasarnya pada kehidupan nyata: manusia selalu suka membandingkan.

Lalu ketika tenggelam lebih dalam pada Ruang Temu, saya akhirnya menerima sebuah kenyataan bahwa ia kepingin diterima tidak sebagai bayangan Turiya. Karena seperti yang ditulis pada mimpinya Mielka: bayangan adalah cerminan terhadap ketakutan. Ruang Temu ingin menghajar ketakutan itu. Baik ketakutan terhadap pembaca melainkan ketakutan terhadap dirinya sendiri (dalam hal ini penulis).

Gilang Ayu alias Fro digambarkan jauh berbeda. Lebih bertanggung jawab dan mengatur hidupnya dengan baik. Bagian ini (bisa saja) adalah sisi lain dari penulis yang ingin ditonjolkan bahwa ia kini beranjak dewasa. Oke, baru “beranjak” artinya belum dewasa.

Sekali lagi jika pada awalnya membaca Ruang Temu dan terdapat banyak loncatan di kepalamu. Anggaplah itu sebagai sebuah reaksi yang normal. Bahwa sesuatu yang bertumbuh itu pasti punya “protes”-nya sendiri.

Selamat membaca Ruang Temu: antara denting dan rahasia J

Wednesday, June 13, 2012

[Semacam Ulasan] Buku Identitas, Milan Kundera





Membaca sebuah novel yang kemudian menyisakan sebuah misteri di kepala. Mungkin itulah gaya menulis dari Milan Kundera. Dan saya suka. Tentang pertanyaan-pertanyaan yang biasanya hinggap dalam kehidupan pasangan. Saya membayangkan sepasang kekasih yang mengaku saling jatuh cinta tetapi sepanjang hidupnya mempertanyakan cinta mereka. 

Di sini saya merenung kembali soal keyakinan Chantal terhadap Jean-Marc, apakah laki-laki itu benar-benar jatuh cinta terhadapnya. Kemudian muncullah pertanyaan baru apakah indikasi seseorang yang benar-benar jatuh cinta terhadap seseorang. Saya kira tak ada yang bisa menjawabnya. 

Dengan banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam kehidupan cinta pasangan tersebut. Maka yang bisa dilakukan adalah menjadi mata-mata. Saling memata-matai. Menulis surat sepotong tanpa nama pengirim. Setelah dibaca surat tersebut lalu dengan anggun diletakkan di dalam lemari di bawah beha-beha. Bukankah ini sangat metaforik. Bahwa di dalam kehidupan biasanya kita menyimpan sesuatu yang bagi kita mengandung “rahasia” di balik barang-barang pribadi kita. 

Nah, begitupun kita sering melakukannya kepada pasangan kita. Jika kita tak mau membuka sesuatu kita memilih untuk menutupnya. Buku ini tidak hanya mengandung kebingungan terhadap pasangan. Juga terdapat kebingungan terhadap diri sendiri. Indentitas. Identitas yang mungkin penuh. Separuh penuh. Atau tidak penuh sama sekali. 

Ketika membacanyanya pun silakan alami petulangan dari pikiran yang satu kepada pikiran yang lain. Lalu kembali merenungkannya. Silakan analisa dialog yang satu dan dialog yang lain. Siapa tahu kita juga pernah memikirkan atau merasa atau mengalami seperti mereka. 

Penggalan dialog Jean-Marc terhadap Chantal cukup sexy menurut saya ketika dia bilang seperti ini “aku kepingin melihat kelopak matamu membasahi kornea seperti wiper menyapu kaca mobil.” Tidak hanya sexy. Saya membayangkan Jean-Marc adalah seorang yang tidak biasa. 

Seperti halnya saya sering membayangkan diri saya sendiri ketika begitu menginginkan mata teduh seseorang saya ingin mencongkelnya. Supaya mata itu melihat saya setiap hari. 

Mungkinkah inilah indikasi seseorang ketika jatuh cinta setengah mati. Kamu hanya ingin mengabadikannya. Diam-diam atau terang-terangan. Atau bisa jadi jatuh cinta pun sebaliknya membuat kita ingin menjadi mata-mata terhadap diri kita sendiri maupun orang lain.


Monday, February 6, 2012

[Semacam Ulasan] Buku Oeroeg, Hella. S. Haasse






Membaca Oeroeg karya Hella S. Haasse. Ketika membaca buku ini saya larut ke dalam persahabatan kental antara si tokoh “aku” dan Oeroeg. “Aku” adalah seorang anak Belanda yang ayahnya adalah administrateur di sebuah perkebunan dimana ayah Oeroeg—Deppoh bekerja sebagai mandor.

“Aku” adalah si tokoh kesepian yang tidak punya teman. Yang ketika dilahirkan hanya punya seorang teman yaitu Oeroeg. Karena kebetulan mereka juga dilahirkan dalam selang waktu yang tidak terlalu jauh. Kemudian mengalami petualangan-petualangan liar sejak kecil. Bermain di hutan. Menyerbu pohon-pohon. Menangkap binatang di sungai.

Persahabatan eksotik antara si “Aku” dan Oeroeg dengan segala perbedaan yang mereka miliki. Ada ketulusan yang ditemukan di dalam persahabatan ketika masih kecil, kemudian hal tersebut berubah ketika dewasa. Lantas kenapa? inilah yang mungkin disebut sebagai proses manusia dengan pilihan bebasnya mencari siapa yang akhirnya berhak menjadi “sahabat” dan siapa yang “tidak.”

Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada siapa. Walaupun yang satu anak mijhneer dan lainnya inlander. Atau warna kulit yang berbeda. Persahabatan jauh lebih daripada itu. Ia seperti mencintai tanah kelahiranmu—atau bangsamu.

Dan terkadang bangsamu tidak mencintaimu balik. Apakah ini sebuah ironi? Ya. Dalam hidup kadang kita mempunya hal-hal semacam ini. Mencintai terlalu banyak dan tidak dicintai balik. Tetapi kita tidak pernah tahu apa yang benar-benar ada di hati setiap orang bukan? Silakan pilih mau mencintai seperti "aku" atau Oeroeg? 

Wednesday, November 16, 2011

Merapi, Omahku






Membaca buku “Merapi Omahku” yang ditulis oleh Elizabeth D. Inandiak dan Heri Dono membuat saya ingin mengenal sosok Mbah Marijan. Buku ini menulis tentang mitos di sekitar gunung merapi. Dan hubungan yang terjadi antara manusia dan alam. Saya membaca buku ini dalam perjalanan saya ketika naik damri, alasannya: buku ini tipis. Ringan untuk dibawa kemana-mana. Dan saya suka ilustrasinya.

Elizabeth menulis tentang sosok Mbah Marijan atau Simbah. Membuat saya penasaran. Saya hanya mengenal Simbah dari iklan minuman penambah tenaga yang saya lihat di tivi. Sosok yang bersahaja menurut saya. Tapi ketika membaca buku ini yang ingin saya tanyakan kepada Simbah adalah “apa itu kepercayaan?” dan “apa itu keyakinan?”  

Rese juga ketika berpikir bahwa, kalau nantinya saya bisa mengobrol dengan Simbah saya harus menggunakan bahasa Jawa. Lalu saya mulai menghayal, saya datang ke Kinahrejo, minum teh kental manis dengannya. Simbah akan bercerita kepada saya seperti seorang kakek kepada cucunya. Beliau akan mendongeng tentang mitos yang terjadi di sekitar gunung Merapi. Dimulai dari kisah Barata, manusia yang pernah menjadi pemburu di sekitar gunung Merapi, yang kemudian bersahabat dengan seekor gajah. Kemudian si gajah itu sendiri dimantrai-nya hingga menjadi sebuah pohon. Kemudian kita kenal dengan Pohon Beringin Putih. Lalu Simbah juga akan bercerita kepada saya tentang makhluk-makhluk yang tak kasat mata yang hidup di dalam perut gunung Merapi.

Saya masih menghayal, ketika tiba-tiba di depan saya kini muncul sosok itu ...

“Mungkin, kamu harus belajar melihat mengunakan mata batin kamu, The.” Kata-kata itu keluar dari mulut Simbah begitu saja.

“Maksudnya, mata batin Mbah?” saya bertanya dengan muka bingung.

“Kamu harus punya keyakinan diluar kepercayaan kamu. Ini tidak bicara soal Agama atau siapapun yang kamu percaya. Hanya saja meyakini sesuatu, tidak harus sejalan dengan apa yang kamu percaya. Keyakinan selalu bicara tentang soal yang lebih dalam.”

“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulut saya. Sambil masih mencerna semua kata-katanya.

“Saya percaya kepada Tuhan, Sri Sultan, dan Gunung Merapi. Tuhan yang paling pertama dan utama. Lalu kemudian saya meyakini, apapun juga yang diciptakan oleh Tuhan. Yang diciptakan akan kembali.  Saya meyakini itu. Termasuk saat ini, saya kembali kepada-Nya.” Ia tidak melanjutkan kata-katanya.

Ia lalu pergi. Menghilang begitu saja. Meninggalkan saya yang bingung dengan pertemuan singkat itu.

Betul kan, ia seperti kakek. Saya bahkan tak sempat mencium tangannya. Dan ini mungkin bukan kesimpulan: kepercayaan diciptakan. Sedangkan keyakinan tidak. Begitu?

Ah Simbah, semoga tenang di alam sana.

*saya selalu tertarik dengan Jawa, keragaman mitosnya. Toh, kamu tidak perlu meyakininya juga. Bagi saya mitos tentang Jawa, ada atau tidak ada. Selalu menarik. Selalu hidup. 

Wednesday, September 21, 2011

Arok Dedes






Saya suka dengan cara Pramoedya Ananta Toer menggambarkan Dedes dalam buku ini. Bukan berarti Arok dan tokoh lainnya tidak penting. Tapi seorang Pramoedya berhasil merasuk emosi saya sebagai seorang perempuan untuk lebih paham apa arti cinta yang terbelah menjadi dua sekaligus patah hati.

Dedes terkenal akan kecantikannya. Menurut cerita bahkan di seantero muka bumi kerajaan Tumapel dan Kediri-pun. Tidak ada yang secantik Dedes. Dedes atau juga yang mendapat gelar Ken oleh Yang Suci Belangkangka. Dan semua orang yang mengenalnya memiliki kisah cinta yang unik. Ia yang diculik oleh Tunggul Ametung dan dinikahi secara paksa—kemudian dijadikan sebagai Paramesywari di kerajaan Tumapel mendampingi Tunggul Ametung sebagai Akuwu pada zaman itu.

Pernikahan yang tidak dilandasi dengan cinta tersebut kemudian tidak berhasil dengan rukun. Dedes tumbuh menjadi seorang perempuan yang hanya menjalankan perintah suaminya sebagai formalitas. Ia menjalankan kehidupannya sebagai Paramesywari di Tumapel dengan titah dan kekuasaan yang ia miliki. Kapan saja ia menurunkan titah maka semua akan menjalankannya.

Tak ada cinta kepada Tunggul Ametung. Dedes hanya kebetulan dipilih. Semacam ada kehidupan yang digariskan kepadanya oleh Jagad Dewa—kekuasaan tertinggi untuk di kemudian hari bertemu dengan cintanya yang sebenarnya—Arok.

Dalam hal ini saya mengerti bahwa di dalam perjodohan ada pertemuan yang—sengaja—diatur oleh kekuasaan tertinggi. Walaupun mengalami kawin paksa dengan Tunggul Ametung akhirnya saya paham bahwa Dedes pun akhirnya oleh kekuasaan tertinggi dipertemukan dengan Arok. Arokpun sengaja dipilih. Untuk kemudian jatuh cinta kepada Dedes. Tetapi dikala waktu itu datang, Arok telah menikahi Umang.

Saya pun terlibat emosi antara kisah cinta Dedes—Tunggul Ametung—Arok—dan Umang. Saya berpikir bahwa terkadang saya seperti Tunggul Ametung, memaksa orang lain untuk mencintai saya. Lalu saya juga merasa seperti Dedes yang akhirnya jatuh cinta lantas patah hati karena merasa diduakan. Kemudian saya akan seperti Arok, tidak bisa memilih karena hidupnya telah digariskan. Dan saya pun adalah Umang—gadis yang jattuh cinta terhadap Arok sejak ia masih kanak-kanak, menikahinya ketika dewasa.

Betapa kayanya pemikiran seorang Pramoedya. Buku ini mengajarkan kudeta sekaligus cinta. Atau memang di dalam cinta pun kita harus belajar strategi kudeta—menggulingkan seseorang dulu baru mendapatkan yang kita inginkan.

Ah, ini bukan ide yang bagus teman.

Toh, kalau Dedes betul-betul menginginkan Arok—sudah semestinya ia bisa menggulingkan Umang sebagai Paramesywari ke dua di Tumapel.

Tapi Dedes tidak melakukannya. Ia patah hati—tapi tidak melakukannya.

Di salah satu coffee shop. Siang ini. 15:20 

Monday, July 25, 2011

Bercinta di Bawah Bulan







Bercinta di Bawah Bulan. Ketika membaca judul saya bertanya “kenapa bukan Bercinta di Bawah Bintang” atau “Bercinta di Bawah Langit” atau “Bercinta di Bawah Mars” –sekalian, supaya menegaskan bahwa benda langit lainnya juga memiliki keistimewaan tersendiri. Tapi bulan memang istimewa. Sinarnya seperti punya pesona, mampu membawa seorang penyair maupun penulis untuk menulis sesuatu yang indah tentangnya.


Salah satunya adalah Kurnia Effendi. Saya tidak mengenalnya secara personal. Bahkan belum bertemu muka dengan muka. Tapi salah satu karyanya yaitu “Bercinta di Bawah Bulan” membawa saya hanyut. Permainan kata yang tidak gampang ditebak. Membuat saya harus membaca berulang kali, baru kemudian saya mengerti jalan ceritanya secara utuh. Agak sulit menemukan yang seperti dia. Beberapa penulis yang saya kenal—dan saya juga membaca karya mereka. Terkadang hanya perlu sekali membaca sebuah halaman, tanpa perlu diulang, dan kesimpulannya saya akan mengerti.


Tapi tidak dengan tulisan Kef pada buku ini, begitu ia biasa di sapa. Ada misteri yang perlu dipecahkan pada setiap permainan katanya. Ada jawaban terselubung yang hendak ia sampaikan, membawa saya merenung sebentar tentang apa jawaban itu. Lalu ada kehilangan. Setelah judul yang mistis, Kef seperti menuntun saya untuk memaknai kata “kehilangan” itu sendiri. Pada kata “Kehilangan” ada ketakutan yang berkepanjangan. Atau ada rindu yang berkepanjangan. Kehilangan adalah perasaan yang pada akhirnya menimbulkan was-was.


Pada Bercinta di Bawah Bulan Kef seperti menata “kehilangan” dengan begitu rupa. Tidak ada kecurigaan pembaca. Dan pada akhir sebuah cerita hilang sudah. Kef seperti ingin mengatakan bahwa “kehilangan” itu sendiri adalah sebuah perjalanan. Ia bukan sesuatu yang datang ujug-ujug. Ia adalah bagian dari manusia. Dan sudah selayaknya manusia menganggapnya sebagai suatu proses yang alamiah.


Sampai di sini saya berpikir, saya pernah menulis seperti ini: kehilangan adalah perjalanan untuk menemukan. Dan menemukan adalah perjalanan untuk kehilangan. Seperti sinar bulan. Ketika menemukannya kita pun harus siap untuk kehilangannya. Begitupun ketika kita kehilangannya, kita harus siap-siap untuk menemukannya.


Berarti tidak ada yang baru di muka bumi, ini hanya kesimpulan sementara saya. Untuk mengetahui jawabannya, mungkin kamu perlu membaca buku ini. Kumpulan cerpen yang akan membuatmu “kehilangan” kemudian “menemukan.”

Dago 349. 24 July 2011. 17:37—menyelesaikannya ditemani Jacob, sebelum akhirnya ia pergi bermain dengan Hunter dan Brino.  



Wednesday, July 6, 2011

Mengenal Larasati




Larasati hari itu tampak cantik. Ia hanya mengenakan atasan longgar berwarna gelap dengan rok panjang sebetis, rambutnya dibiarkan tergerai sebahu. Ia terlihat sedang duduk di kedai. Tampak dihadapannya cangkir teh panas yang masih mengepul.

Aku tergesa-gesa memasuki kedai itu. Kebaya dan konde yang sedari tadi menghiasi tubuhku pun belum sempat dilepas. Aku menghampirinya, ia lalu menyodorkan sebungkus rokok.

“Mau?”

“Tidak. Aku tidak merokok.” Kataku membalas tawarannya. Ia tampak cantik di hari itu, tampak beberapa helai kelabu menghiasi rambutnya. Tapi tentu saja itu tidak menyiratkan kecantikannya.

“Habis dari mana, kok berkebaya segala?” ia bertanya sambil menyulutkan rokoknya perlahan.

“Eh, aku habis dari nikahan teman. Kebetulan mereka pakai adat jawa. Aku hanya ingin menghormati.”

“Oh. Lalu apa yang hendak kamu ketahui, The.”

“Hm, begini.. aku baca mengenai kisahmu. Aku paham kalau kamu adalah perempuan yang pemberani. Aku hanya penasaran ingin tahu, apa yang membuatmu seberani itu?”

“Berani? Sejujurnya bukan hanya itu. Aku hanya tidak ingin melarikan diri. Banyak orang menyerah lalu mencoba melarikan diri. Ketika lari itu adalah kekalahan. Dan aku tidak mau seperti mereka.”

“Kamu hanya perempuan, kamu tak punya senjata pula. Lalu dengan apa kamu berjuang?”

“Keyakinan” jawabnya dengan mata menyala-nyala. Ia menatapku lama, menghisap rokoknya dalam-dalam lalu meneruskan “... perjuangan terkadang hanya butuh ini. Sebutlah keyakinan adalah senjata paling ampuh. Tapi kebayakan orang lupa. Mereka memilih fokus kepada sesuatu yang kelihatan ketimbang yang tidak kelihatan itu sendiri.”

Aku mengangguk perlahan. Diam-diam aku salut dengan perempuan yang ada di hadapanku ini. Secara tidak langsung ia sedang mengajarkan sesuatu kepadaku. Aku mencoba menerobos matanya yang hitam, mencari-cari adakah ketakutan itu di sana. Entahlah. Tidak kutemukan.

Dengan pelan aku bertanya “pernahkah kamu takut, Ara?”

Ia menunduk. Memainkan jari-jari di cangkir mungil yang ada dihadapannya. Menghembuskan nafas perlahan lalu menjawab “Tidak takut itu munafik. Jangan pernah biarkan dirimu dikuasai oleh kemunafikan. Lebih baik berkata jujur. Dan jika kamu ingin dengar, aku takut. Tapi  ketakutan itu sendiri hanya perasaan pada awalnya saja. Seperti permulaan, kamu akan segera melewatinya.”

Dalam hati aku merenung. Menelan perlahan setiap kalimat yang keluar dari bibirnya yang tipis. Rasanya aku sendiri perlu membaca ulang setiap kata-kata yang aku dengar di hari ini. Tidak pernah cukup untuk mengerti, merasakan, mendalami pengalaman Ara. Tidak pernah cukup untuk mengerti arti “Kemenangan dari Merah Putih” itu sendiri. Semua butuh waktu, semua patut disyukuri.

Ya, kata syukur. Aku butuh itu. Ara sendiri pun butuh itu.

“Satu lagi Ara, apa arti perjuangan bagimu?”

“Aku setuju dengan Pram dalam hal ini: Kalau mati, dengan berani; kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita. Ada keangkuhan dalam kalimat-kalimat itu. Untuk berjuang diperlukan keangkuhan. Rasa bangga yang tinggi terhadap kepemilikan sendiri. Jika itu adalah milikmu, kamu harus merebutnya. Merebutnya dengan dendam. Merebutnya dengan angkuh. Itulah berjuang. Tapi tidak hanya sebatas itu, Merah Putih bukan hanya soal bendera yang berkibar. Ia nyawa yang tumbuh yang setiap detik harus diperjuangkan.”

“Terima kasih Ara. Aku belajar banyak.”

Ia hanya membalasku dengan senyuman, senyuman paling manis dari seorang pejuang. Perempuan.


Aku keluar dari kedai itu, kebaya dan kondeku masih di kepala. Berjalan pelan di atas trotoar kecil. Toko-toko tua berjejer. Bendera merah putih menyembul dari salah satu etalase toko. Dalam hati aku bertanya, loh ini kan bukan tanggal 17 Agustus? Kenapa musti ada bendera? 

Merah Putih bukan hanya soal bendera yang berkibar. Ia nyawa yang tumbuh yang setiap detik harus diperjuangkan. Sayup-sayup kata-kata Ara terngiang-ngiang..

Mungkinkah perjuangan itu sudah selesai? Atau justru saat ini, kita sedang menghadapi musuh yang lebih hebat lagi.

Dago 349. 6 July 2011. 13:40

*semacam review. Tulisan ini tidak ada bandingannya dengan karya-karya Pram yang begitu agung.

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...