Friday, March 16, 2018

[Sebuah Cerita Pendek]: Bagiku, Tuhan Tidak Ada



Kapan terakhir kali kau berdoa? Aku tak malu mengakuinya, namun sudah lama sekali aku tidak berdoa. Karena bagiku Tuhan tidak ada. Doa yang paling khusyuk--dan paling kuingat seumur hidupku adalah ketika aku kelas 3 SMA. 

Langit mendung. Ia seperti seorang gadis murung dengan maskara yang luntur di sekitar mata. Dengan kaki-kaki telanjang aku berlari menuju ke rumah Tante Lin. Setapak yang bersentuhan dengan telapak kakiku hangat. Lututku terasa goyah. Namun kupaksakan untuk terus berlari sambil mendengarkan detak jantungku sendiri yang hampir rubuh.

Bangunan rumah Tante Lin belum sepenuhnya berdiri. Rumah itu masih dikelilingi tembok seperlunya saja, dengan bakal jendela yang bahkan belum kena semen. Di salah satu sudut rumahnya, kulihat beberapa orang sudah berkumpul. Wajah mereka murung. Aku mendekat ke arah kerumunan dan melihat ke arah kota, sebuah hitam besar menyergapku. Itu sudah bukan lagi langit yang mendung, melainkan segerombolan asap hitam besar dari gedung-gedung yang terbakar. Hanya kurang dari satu menit aku melihat pemandangan itu, tiang listrik di komplek kami berbunyi. Pertanda, telah terjadi kerusuhan di kota, semua harap siaga.

Aku berlari pulang ke rumah. Kali ini kupacu langkah-langkahku lebih cepat. Di sekelilingku beberapa tetangga yang laki-laki, sudah terlihat sibuk menyiapkan senjata-senjata rakitan, ada yang membawa parang, dan mulai berlari ke arah perbatasan. Nafasku memburu. Kakiku kini telah menginjak pekarangan rumah, gemerisik daun mangga kering berbisik ketika kakiku yang telanjang menginjak mereka. Aku mengambil jalan memutar dan masuk melalui teras samping. Di sana aku melihat ibu di ruang tengah keluarga kami, ia menatap ketika aku masuk. Dengan suara lirih, ia berkata, "Ayahmu, belum pulang, Nak. Sebaiknya kita berdoa untuk keselamatannya."

Bagiku Tuhan tidak ada, karena jika ia ada, kenapa kerusuhan di kotaku tak kunjung reda. Banyak orang telah mati sia-sia. Kampung-kampung telah hangus terbakar, harta benda, sanak saudara yang tercecer, yang hingga sekarang masih terjebak di belantara hutan entah masih hidup atau sudah menjadi bangkai. Aku membuka pintu kamar mandi dan masih mengutuk Tuhan dalam hati. Aku duduk di WC jongkok, mengangkang, dan tidak buka celana, memperhatikan dinding di depanku dengan cat tembok yang mulai terkelupas. Kukeluarkan rokok dari dalam saku celana, sebatang yang kubeli pagi tadi di warung, membakarnya, dan memejamkan mata.

Aku ingat ayahku, sudah tiga hari ini ia terjebak di kantornya dan belum bisa keluar sebab jalan besar di sekitar kantornya rawan sekali dengan penembak-penembak jitu yang bersembunyi di bekas gedung-gedung tinggi. Semalam ketika ibu bicara dengan ayah di telepon, ayah mengatakan bahwa ia masih harus menunggu tentara kostrad menjemputnya dengan pengamanan yang ketat. Jantungku mencelos ketika mendengar bunyi bom dijatuhkan, kemudian diikuti dengan suara tembakan beruntun. Ada rasa takut menjalar. Sekujur tubuhku kini gemetar membayangkan segala yang kelam di kepalaku, tentang ayah yang terjebak dan tak bisa pulang. Kalimat-kalimat itu pun mengalir pelan, "Bapa kami yang di sorga, dikuduskan-lah namaMu..." 
-

[Bandung, 16 Maret 2018, pukul 3:17]

No comments:

Post a Comment

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...