Sunday, May 8, 2011

Patah, Membalut.

“Ia yang menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka.”

Saya suka dengan kata menyembuhkan—kata ini membuat setiap manusia, apalagi saya sadar akan satu hal. Bahwa selama kita hidup di muka bumi ini, kita tidak melulu tersambung. Suatu hari kita bisa saja patah. 

Keutuhan hati menjadi semacam nikmat yang betul-betul harus diusahakan dengan sangat. Dicari dengan susah payah. Begitu tersambung, utuh, harus dipelihara. Saya menemukan deretan kalimat-kalimat manis ini di Injil. Ketika saya membaca kitab Mazmur pada suatu pagi. Satu hal yang saya senangi tentang injil adalah ia punya beberapa kitab puisi. Dari mereka lah, saya banyak belajar menulis puisi, walaupun tentu saja puisi-puisi Daud masih jauh lebih bagus ketimbang puisi-puisi saya.

Bicara soal Daud—Ia adalah tokoh favorit saya, karena saya banyak membaca tulisan-tulisannya. Saya suka cara ia menuturkan keyakinan, pengharapan, bahkan keputus-asaannya di dalam tulisan. Saya tidak pernah melihat Daud menutupi sesuatu, ia selalu berkata-kata dengan jujur. Ia seorang penulis yang apa adanya.

Ketika saya membaca deretan kalimat tersebut, saya berpikir bahwa bisa jadi Daud menuliskan kalimat tersebut ketika ia sedang di titik nol. Perasaanya bisa saja begitu sedih—marah atau mungkin bercampur-campur. Terlepas dari pada apapun perasaan Daud ketika menuliskannya, bagi saya  Daud adalah pria yang romantis. Ia berani mengakui kalau ia sedang terluka.

Tuhan seperti menjadi Ibu. Ia duduk dengan Daud. Ibu membelai lembut kepala Daud, menatap lembut mata Daud dan berkata “mau cerita apa, nak?”—Daud mulai curhat panjang lebar. Ibu yang baik mendengarkan dengan penuh perhatian, anak yang sedang terluka itu. Hubungan Ibu dan anak laki-laki yang begitu dekat—tak lama kemudian mereka mengobrol dengan berbisik-bisik, kini Daud terisak di pangkuan Ibu. Ibu yang sabar, membelai punggungnya perlahan. Dan terus mendengarkan.

Saya suka dengan kata “membalut.” Kata yang ketika saya membacanya entah kenapa saya selalu membayangkan menstruasi pertama kali. Daud memang tidak menstruasi karena ia adalah seorang laki-laki—tetapi saya ingat ketika menstruasi pertama kali, biasanya anak perempuan akan didampingi oleh Ibunya. Ibu akan mengajarkannya untuk memakai pembalut.

Atau ketika bermain, jatuh dan luka. Disinilah kita biasanya dibalut. Ibu biasanya lebih peka ketika anak-nya sedang patah hati atau terluka. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran Daud ketika ia menulis ini—dan patah hati, tidak melulu soal cinta. Tetapi mungkin ada sesuatu atau seseorang yang membuatnya begitu terluka—begitu patah.

Kalau sedang patah, mungkin yang perlu saya lakukan adalah belajar dari Daud: pergi dan curhat kepada Ibu. Ibu akan membalut.  

Samar-samar saya mendengar Ibu berkata kepada Daud “bersyukurlah, tiap orang yang pernah patah—dengan begitu mereka belajar membalut.”

Mengutip Goenawan Mohamad dalam bukunya Tuhan & Hal-Hal yang Tak selesai dia menulis “ternyata selama ini saya tak punya waktu buat tetek-bengek. Kami hanya menyimak soal-soal besar agar dunia jadi lebih adil di masa depan.” Kebenaran bisa jadi adalah persoalan tetek bengek. Tak pernah penting dan selalu dilupakan. Padahal mungkin kehadiran tetek bengek—bisa sangat berarti.  


Ketika saya selesai menulis ini suara adzan diikuti dengan bunyi gerimis patah di luar, pulang-pulang Ibu gerimis pasti akan repot mengajarkan mereka membalut. 

Dago 349, 7 Mei 2011. 18:57

2 comments:

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...