Monday, November 2, 2015

Tentang Hal Hal dan Perasaan Perasaan






photo by Tiara Salampessy. 



Saya tidak akan menyampaikan beberapa hal yang spesifik seperti bagaimana caranya menata rumah supaya tidak berantakan atau bagaimana supaya kamu berhenti merokok, karena asap asap rokok itu akan mengepul, terbang dan menjadi puisi di dinding-dinding. Saya tidak bermaksud mengubah kamu di dalam banyak hal, seperti yang sudah saya katakan bahwa “saya mencintaimu karena kekuranganmu” persoalan bahwa suatu hari nanti saya akan berubah, dan saya tidak akan setuju lagi dengan pernyataan ini, semoga tidak. 

Akhir-akhir ini saya suka sekali bepergian ke suatu tempat sendirian. Maksud saya, saya memang suka sendirian, dan sama sekali tidak terganggu dengan itu. Karena dari dulu hingga sekarang, saya lebih suka melakukan hal-hal menyenangkan sendirian ketimbang beramai-ramai. Bukan berarti saya pelit, melainkan saya hanya menyukainya. Itu saja. Seperti saya menyukaimu, punggung, bibir, kulit, dan hal-hal yang ingin saya rasakan lebih dari sekedar mencium ataupun meraba. Saya ingin tinggal lebih lama. Suatu saat nanti, semoga tidak lama—ataupun jika saya harus menunggu lama, saya harap kamu tidak membagi mereka dengan orang lain. Ataupun kalaupun kamu terpaksa harus membagi mereka dengan orang lain. Tinggalkan saya sedikit. Secuil.

Seperti secuil perasaan perasaan yang datang setiap kali saya begitu berjarak dan hanya dapat menikmatimu melalui bunyi nafas di telepon, bunyi ngorok, dan bunyi “Halo” yang khas atau tawa sederhana, seakan-akan kamu adalah orang yang paling bahagia, rasanya itu saja sudah cukup. Sejauh ini, saya tidak menginginkan yang lain. Saya hanya ingin kamu bahagia. Lebih bahagia, dari hari-hari sebelumnya. Dan suatu hari nanti, saya akan melihat itu terpancar keluar dari matamu. Yang di dalamnya ada bayang-bayang saya, sedang berkaca pada matamu.

Saya dapat melihat bukan hanya kebahagiaan, tetapi juga kesedihan, amarah, kecewa, hasrat, dan perasaan-perasaan lainnya yang tidak dapat dibahasakan dengan kata. Yang dapat kamu bagikan dengan saya, tidak dengan kata, hanya tatapan. Bukankah itu menyenangkan. Persoalan-persoalan seperti ini, tidak dapat dijelaskan banyak melalui tulisan, harus bertemu: berciuman panjang—lama, hingga menelanmu bulat-bulat!


Thursday, October 15, 2015

Tentang Menyikat Gigi Pagi Ini











Pagi ini ketika menyikat gigi, saya tiba-tiba teringat pada malam itu—perpisahan kita. Tulang-tulang ikan di atas meja, senyuman, debar jantung tidak karuan, dan mata-mata yang menunduk—tidak berani atau tidak mau memandang satu dengan yang lain.

Saya sempat mencuri-curi, melihat mata kamu, dan guratan-guratan halus di sekitarnya, tetapi tidak berani melihat lebih dalam, karena kedalaman butuh tinggal—lebih lama. Bukan malah pergi. Bukan malah berpisah. Tapi pada malam itu saya harus pergi, saya harus meninggalkan kedalaman yang tidak sempat saya gali. Rasanya gelisah juga malam itu, ketika harus meninggalkanmu. Diam-diam saya telah menaruh hati pada mata itu.

Sudah sangat lama saya tidak melihat mata yang penuh bintang-bintang, dan berkerut-kerut seperti terbakar. Seperti katamu bahwa asal kerutan itu dari dalam, karena matahari yang membakar. Sayang sekali saya tidak dapat duduk lebih lama untuk menikmati tentang kedalaman: tentang hal-hal yang membakarmu. Tetapi  pada akhirnya siapa tahu saya bisa mengerti. Karena saya ingin.

Ketika saya menyikat gigi pagi ini, saya juga teringat dengan senyuman kamu, sudah lama saya tidak melihat senyuman yang menggebu-gebu, lalu saya melihat ke kaca, dengan mulut penuh busa odol dan gigi yang masih belum selesai disikat. Saya mencoba senyum itu—senyum milikmu, siapa tahu pas dengan bibir saya. Dan di sana, tepat di kaca itu ada wajah kamu. Saya lalu mencium pipi kamu, meninggalkan sisa-sisa odol di sana, kemudian saya bisikkan ini “semoga bahagia, ya, pagi ini” meninggalkan  sisa-sisa odol juga di telinga kamu.


Kamu tertawa, tawa yang khas. Tawa yang sudah saya kenal begitu lama. Tawa itu seperti langit, berwarna biru muda ketika pagi, begitu lembut, dan tidak buru-buru. Saya ingin mendengarkan tawa itu lebih lama. Makanya, pagi ini, saya menyikat gigi lebih lama. 

Tuesday, September 29, 2015

Perempuan yang Memilih Tinggal











Akhir-akhir ini saya banyak merenungkan tentang jatuh-jatuh, rumah, pagar, halaman dan kutu busuk. Kutu busuk yang merayap masuk ke dalam kasur dan menghisap darah, sekaligus perasaan-perasaan rindumu setiap malam, yang hanya dapat kamu sampaikan kepada bulan terang dalam diam.

Saya suka bagaimana Budi Darma menggambarkan percintaan seperti kutu busuk dalam bukunya Olenka. Sama seperti saya suka dengan kata “berbulan madu”, karena saya selalu membayangkan menjadi lebah yang tinggal di bulan, saling menghisap madu setiap hari. Lihat bagaimana kutu busuk dan lebah dapat menjelma menjadi sesuatu yang indah, hanya karena mereka memiliki kesamaan yaitu dapat menghisap.

Manusia dan kejatuhannya yang tidak direncanakan—setiap hari bangun di pagi hari, tidak dalam kondisi yang sama, tetapi jatuh kepada seseorang yang sama di ingatan yang paling pertama. Adalah sebuah pilihan. Pilihan untuk membangun rumah bersama—tidak, tanpa pagar, dengan halaman yang luas: dengan bebas bermain, berdua, bertiga, atau bahkan beramai-ramai. Kemudian tinggal atau pergi adalah pilihan selanjutnya. Tetapi saya—perempuan yang memilih tinggal dalam jatuh-jatuh yang tidak direncanakan. 


Seperti Tuhan yang menciptakan manusia dengan kehendak bebas, rasanya sperti itu, dapat menikmati kemerdekaan sejati dalam mencintai, memiliki maupun tidak memiliki. Sebab cinta adalah jatuh-jatuh yang tidak direncanakan. Mungkin tidak berujung. Tetapi hendaklah ia dikerjakan dengan sungguh-sugguh, dan sepenuh hati, karena yang seperti ini bisa ditebak ujungnya: tidak akan pernah ada rasa menyesal, ketika pun harus berpisah.

Segala sesuatu bukannya tanpa tujuan. Tidak ada jatuh-jatuh tanpa tujuan. Tidak ada kesedihan tanpa tujuan. Tidak ada keindahan tanpa tujuan. Rasanya seperti sudah. Rasanya seperti cukup. Saat ini tidak memilikimu, bukan berarti tidak bahagia, karena kebahagiaan itu sendiri dapat muncul dari rasa kekurangan. Saat ini, ketika segala sesuatu berjarak, bukan berarti tidak dapat menikmati keindahan, karena kekosongan itu sendiri dapat menjadi sebuah hening yang indah.

Saya mencintaimu, bukan karena suatu hari kita dapat membangun rumah bersama—tidak dapat. Saya mencintaimu karena saya sudah lebih dulu dicintai, dan memberikan kepenuhan lainnya kepadamu hanyalah bonus. Saya mencintaimu bukan karena saya tidak punya ketakutan, seperti omong kosong yang selalu saya katakan, “jatuh cinta hanya kepada orang-orang yang berani.”

Rasanya tidak ada yang dapat mendefinisikannya, karena saya mencintaimu karena kekuranganmu.  

[Ketika mendung di Bandung, Selasa 29 September, 15.18 wib]




Wednesday, June 17, 2015

Pada Bola Hitam Matamu








Semalam, kamu datang lagi. Kali ini kamu mengunjungiku dengan penuh gelisah. Aku selalu bertanya-tanya, apa yang membuat kamu selalu seperti itu kepadaku. Dalam hati aku selalu mengumpat kenapa sih kamu tidak pernah mengunjungi aku dalam keadaan gembira.

Tetapi syukurlah, umpatan itu hanya aku simpan rapat. Tidak berani keluar dari mulutku. Kamu lalu duduk di depanku, rasanya kita belum pernah saling memandang selama itu. Aku menatap lurus ke dalam bola matamu. Aku bisa melihatnya hitam dan gelisah. Kamu hanya diam saja. Kegelisahanmu semakin terasa ketika kamu menyentuh lenganku dan pelan pelan mentautkan jari-jarimu dengan jari-jariku.

Kamu menyentuh punggung tanganku, kamu seperti sedang berpikir keras untuk mengatakan sesuatu, aku menunggu ... tapi tidak satupun kata keluar dari mulutmu. Kamu menghembuskan nafas pelan. Aku bisa merasakan hangatnya. Aku kembali menatap lurus ke dalam bola mata hitammu, dan menemukan bukan hanya gelisah, kini mata itu berubah sedih.

Jari-jarimu merangkul jari-jariku erat. Semakin merapat. Aku gelisah, lalu mengendurkan sedikit jari-jari tanganku darimu, tapi kamu tetap menggenggamku erat. Seakan tidak mau lepas. Seakan kamu takut aku pergi meninggalkanmu.


Kemudian datang pagi. Aku kaget, lalu membuka mataku. Ternyata aku bermimpi. Namun gelisah dan sedih dari bola matamu, tetap sesak dalam dadaku.  


Saturday, June 13, 2015

Keluarga Versi "Family Portrait" Karya Vincent Rumahloine









Pertanyaan pertama apa itu keluarga? Konsep “ideal” keluarga di sekitar kita adalah yang “lengkap” dalam artian ada satu Bapak, satu Ibu, satu atau dua anak, jika masih ada Kakek dan Nenek akan lebih baik. Tetapi di sisi lain, ada juga keluarga yang tidak lengkap. Di sekitar kita banyak sekali hanya ada Ibu dan Anak, atau Bapak dan Anak, atau bisa jadi hanya ada Ibu dan Bapak, atau malahan hanya ada anak seorang diri.

Pertanyaan kedua adalah kapan terakhir kali melakukan sesi “foto keluarga”? jika pertanyaan ini ditanyakan kepada saya, saya akan menjawab bahwa tidak pernah. Maksud saya dalam hal ini tentunya adalah acara “foto keluarga” yang lengkap, yang biasanya sering kita temui fotonya dipajang di ruang tamu, dengan pose tertentu yang sengaja diatur (seakan akan semua harus bahagia), memakai seragam tertentu yang sepertinya sudah disepakati bersama, lalu seperti yang sudah dibahas di atas, isi bingkai “foto keluarga” tadi harus lengkap. Jika masih hidup semua akan lebih baik lagi.

Jika hal ini harus dikaitkan dengan keluarga saya. Maka saya mungkin adalah salah satu yang tidak “ideal” itu, karena keluarga saya tidak pernah mengenal acara “foto keluarga.” Satu-satunya “foto keluarga” lengkap versi saya adalah, ketika saya mungkin masih berumur satu atau dua tahun, di foto ini Bapak saya mengenakan kemeja, celana panjang, dan sepatu necis, sedang duduk di kursi. Ibu saya mengenakan dress selutut dengan sepatu hak tingginya, sedang menggendong saya yang waktu itu hanya mengenakan setelan baju tidur dan muka yang mau menangis ketika melihat ke kamera, lalu di samping Ayah, berdiri Kakak perempuan saya yang nomer dua, dan di samping Ibu berdiri Kakak perempuan saya yang nomer satu. Keduanya menggunakan dress sama. Jika dihitung-hitung maka itu adalah “foto keluarga” saya yang pertama, sekaligus terakhir, dan yang paling lengkap.

Foto keluarga itu pun tidak saya besarkan dengan bingkai tebal yang biasanya sering kita lihat di ruang tamu. Foto keluarga itulah hanya saya letakkan di bingkai kecil yang menghiasi meja menulis saya sekarang.

Hal ini yang coba diceritakan oleh Vincent Rumahloine, seniman foto, lewat pameran tunggalnya berjudul Melainkan Tentang Kamu #2 project: Family Portrait. Vincent mengabadikan “family portrait” di Kampung Pulosari RT 09/RW 15, Kecamatan Bandung Wetan, Kelurahan Taman Sari, Bandung. Lokasi Kampung ini berada tepat di bawah jembatan Pasupati dan dekat dengan sungai Cikapundung.

Bagi Vincent, kenapa “family portrait” menarik, karena ketika menjalankan project ini, ia menemukan banyak konsep “keluarga” yang ternyata tidak seideal pada umumnya. Ternyata ia malah menemukan banyak sekali versi keluarga yang tidak lengkap, dan banyak konsep keluarga ideal yang luruh. Karena pada kenyataannya memang di luar sana banyak keluarga yang tidak lengkap. 

Semoga ketika datang dan menikmati pameran ini, kita dapat belajar sesuatu dari keluarga keluarga yang ada di Kampung Pulosari, mungkin ketika Vincent mengajak mereka untuk “foto keluarga", tidak semua hadir dengan versi yang lengkap, berseragam bagus, atau dengan dandanan yang necis, tapi paling tidak ekspresi mereka ketika difoto memang murni, tidak dibuat-buat, tidak diatur-atur. Mereka mungkin adalah versi yang tidak sempurna, tapi bukankah itulah arti keluarga: ketika tidak sempurna, kesanalah kamu tetap pulang.





Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...