ia seperti tanda bisul kering di pahaku, meninggalkan ruam besar yang hitam. ibu, ingatkah kau, aku pernah bertanya mengapa anak gemas berkulit madu dan berambut sarang lebah sepertiku hampir selalu bisulan? katamu, sebab aku terlalu banyak makan telur. kau lalu menunjukkan bekas bisul di pahamu, itu bukan karena telur, nak. namun, katamu, karena kulit kita sama. kau membopongku ke kamar mandi, karena aku merajuk minta kencing. aku menujuk pada lubang di kemaluanku, dan bertanya, “kenapa ada lubang di sana?” kau menjawab, “itu untuk merasakan asmara, nak, tapi kau masih terlalu kecil. tunggu jika kau sudah besar sedikit.” kau menuntunku ke kamar, di sana kita naik ke tempat tidur yang sudah kau kebas, memandang ke langit-langit kamar yang berawan. kulihat sebuah bulan menggantung dengan sayu seperti mata seorang bocah lapar. kutanya, “ibu, kenapa bulan tidak tidur?” kau katakan, ia masih mendongeng kepada anak perempuannya.
kali ini kupalingkan muka ke tembok yang terkelupas. di tembok itu menggantung sebuah peta dengan pulau-pulau bergaris hijau dan kuning, bagian di sekitar pulau berwarna biru muda disertai nama-nama pulau yang berwarna merah tua. aku bertanya lagi, “ibu, bolehkah aku berpetualang ke pulau-pulau itu ketika aku dewasa nanti?” kau menjawab, “tentu saja, nak! kaki dan langkah-langkahmu adalah punyamu, aku tak punya hak untuk mengatur ke mana mereka harus pergi.” kepalaku meliuk masuk ke bawah ketiakmu yang hangat dan mencium bau susu, aku menjulurkan lidahku kepada putingmu dan mulai menghisap.
aku bertanya, “ibu, kenapa kau tak lelah berbagi?” kau menjawab, “nak, setiap manusia, perempuan atau lelaki, selama masih bernapas mesti saling bagi.” kau mengurai rambutmu yang gerimis dan tajam kena mata dan berbisik padaku pelan, “nak, sebelum kau bertanya, aku mau menceritakan kepadamu tentang perpisahan. kau tahu, nak, aku selalu sedih karena harus meninggalkanmu di antara kapal dan perjalananku yang berombak, aku selalu menangis diam-diam. tapi, nak, jauh sebelum kau lahir, aku sudah lebih dulu belajar untuk melepaskanmu. bukan hanya berpisah dengan tubuhku, melainkan juga berpisah dengan cita-citaku untukmu. karena kau punya jalan sendiri.”
***
salatiga, 5 oktober 2020